22. Praduga

23 7 0
                                    

"Astaga. Ibu enggak menyangka kita bakal bertemu dengan Pak Rio Gunawan dengan cara seperti tadi." Sang Ibu tak berhenti berceloteh seusai pulang dari sekolah. "Apalagi kamu menghadapinya dengan tenang dan sampai membuat dia tidak bisa berkata-kata."

Raut wajahnya berganti menjadi sedih. Tangannya bergerak mengelus kepala putrinya. "Kenapa kamu enggak pernah cerita ini ke Ibu atau Ayah? Seandainya kamu cerita, kita pasti akan memindahkanmu ke sekolah lain. Sekolah lain tidak kalah bagus dari Pelita Matahari, kok. Bagaimana kalau sekarang saja kita mulai rencanakan kepindahanmu. Sebentar lagi libur semester juga akan—"

"Tidak usah, Bu," tolak Stefani tanpa gertakan namun tegas. "Aku sudah bisa menghadapinya dengan baik. Ibu lihat sendiri bagaimana aku berbicara dengan Ayah Alexa? Lagipula dia akan duduk di kelas terpisah. Aku dan Alexa enggak boleh bertemu atau berbicara sama sekali. Itu sudah cukup menjamin keamananku."

"Tapi gimana kalau dia menyerang kamu lagi?" Astaga. Sesudah Stefani menceritakan semua perbuatan Alexa padanya membuat sang Ibu gagal menjadi Ibu yang baik. Bahkan dia membiarkan putrinya menghadapi semua sendirian saja.

"Aku tidak akan biarkan itu terjadi." Setiap kata yang Stefani katakan terdengar sangat meyakinkan. Jadi, Ibunya tak lagi memaksa kehendak.

Sisa waktu perjalanan ke rumah dihabiskan dengan sibuk dengan ponselnya sendiri. Dia mendapat beberapa pertanyaan yang serupa seperti, 'Apa kamu tidak apa-apa?' dari beberapa orang, terlebih dari Evan.

Evan: Gue nyesel banget.
Evan: Padahal yang hubungannya bermasalah itu gue dan Adel.
Evan: Tapi lo malah keseret.
Evan: Sumpah gue minta maaf

Stefani: It's okay.
Stefani: Sekarang semuanya clear. Nothing to worry about.

Stefani: Gara-gara ada masalah ini, aku bisa pisah kelas dari dia^^

Evan: Iya.
Evan: Tapi kayaknya Alexa bakal makin kesel kalau tahu dia terpaksa pisah kelas dari Vino juga.
Evan: Dia kan obsess banget sama Vino.
Evan: Padahal mah menurut gue Vino gaada apa-apanya.

Stefani: Idk. Maybe.
Stefani: Eh, tapi kamu tahu enggak alasan kenapa Alexa sebenci itu sama aku?
Stefani: Padahal aku enggak pernah deketin Vino😕 Weird.

Gadis itu kira dia akan mendapat jawaban dari Evan yang memperjelas semua ini. Namun, sepertinya itu hanya kesia-siaan.

Evan: Sorry. Gue udah punya banyak masalah. Jadi gue gak sempat cari tahu tentang itu.

Stefani: Oke, aku ngerti, kok.

Tiba di kamar, dia langsung merebahkan diri di ranjang. Keempukan ranjang seakan langsung menguapkan semua rasa lelah. Hari ini adalah hari yang cukup panjang. Bagaikan struktur cerita, dari bagian perkenalan, konflik, anti-klimaks, klimaks, sampai resolusi langsung terjadi dalam setengah hari sana

Tak pernah sekalipun dia merasakan kesengsaraan ini dalam tubuh Diandra. Seandainya Diandra bernasib sama dengan Stefani, entah otaknya masih waras atau tidak.

"Pantas saja dia mencoba bunuh diri. Ini bukan hidup yang mudah. Tapi kenapa?"

Kenapa seorang Stefani harus menjalani ini semua?

Baiklah. Dia mengerti jika ternyata dia memang masuk ke dalam dunia Wattpad. Terkadang ada beberapa tokoh utama fiksi yang punya hidup terlalu menyiksa sampai akhirnya punya masa depan yang indah. Tapi bukankah hal seperti ini terlalu berlebihan?

Dan, sekarang Diandra terlanjur merasuki tubuh gadis ini. Diandra bukan Stefani yang akan tinggal diam begit saja. Dia harus mencari alasan kenapa Alexa bertingkah seperti itu.

"Kalau ini sungguhan dunia fiksi, biasanya orang kayak Stefani ini tokoh utama yang agak tertindas, tapi ujung-ujungnya bakal direbutkan oleh cowok-cowok most wanted. Terus pemeran antagonis enggak suka karena si MC dekat dengan ML, which is Antagonis juga suka sama ML. Hm." Awalnya dia tidak ada masalah saat menggumam. Hanya saja sedetik kemudian ada sesuatu yang terasa terlalu 'pas'. "Hm?"

Ini baru praduga saja. Tapi....

"Ck, masa Vino suka sama Stefani?"

Kalau memang itu benar. Bikin repot saja.

*****

Harus nekat. Kalau tidak nekat, bagaimana caranya mendapatkan jawabannya?

"Vino," panggil Stefani seusai bel tanda istirahat berbunyi. Secara khusus dia perlahan-lahan mendekati cowok itu. Kalau tidak ada maksud, mana mungkin Stefani mau mendekati cowok sedingin Vino. "Aku boleh bicara berduaan sama kamu enggak?"

Reaksi laki-laki itu agak aneh.

Bukannya menjawab, justru matanya melebar. Mungkin tercengang. Baru kali ini dia melihat sebuah ekspresi di wajah Vino. Apa permintaannya terlalu mengejutkan? "Kamu maunya di kelas, ya?"

"Enggak apa-apa kalau kamu mau ngomong di tempat lain."

"Oke...?" Stefani pergi terlebih dahulu untuk memimpin ke tempat yang lebih tenang. Sedangkan Vino mengikuti dari belakang sambil menjaga jarak yang agak jauh sehingga tak terlihat mereka berdua akan pergi ke tempat yang sama.

Dan, tempat yang Stefani pilih adalah rooftop sekolah. Iya. Itu adalah sebuah tempat yang tidak Stefani duga ternyata ada. Pintu menuju rooftop sangat tersembunyi, ada di balik gedung. Tidak sengaja dia temui saat hendak mengambil bola-bola voli. Itupun tertutup oleh papan-papan kayu tinggi. "Aku baru tahu ada tempat ini."

"Iya. Aku juga tahunya tiga hari lalu. Gimana menurutmu pemandangannya?" tanya Stefani saat mereka telah mampu melihat hamparan langit biru putih.

"Lebih cantik dari lukisan. Omong-omong, kamu enggak apa-apa?"

Jika yang dimaksud adalah kemarin, maka, "Enggak apa-apa."

"Oh." Hanya oh. "Mau ngomong apa sekarang?"

Oke, basa-basi selesai.

"Kamu tahu apa alasan Alexa menggangguku?"

Tanpa banyak kata, pertanyaan itu langsung dibabat jawaban pendek dan berbobot. "Enggak. Aku enggak tahu kenapa."

Hm. Pertanyaan pertama terjawab. Sekarang Stefani harus mengajukan pertanyaan kedua. "Apa ... kamu suka aku?"

Wajah Vino sedatar-datarnya.

Aduh, dia jadi malu sendiri. Seperti terlalu kepedean disukai cowok setampan Vino. Diandra pernah bilang kan kalau Vino itu lelaki yang saking tampannya sampai tak akan mungkin tersentuh. Ibaratnya awan. Meski terlihat cantik, tak akan bisa tersentuh walaupun sudah menaiki pesawat.

"Maaf--"

"Jangan minta maaf. Aku saja yang enggak tahu harus bicara apa."

Huh?

Huh????

Maksudnya?

Tolong jangan ambigu. "Er ... Jadi?"

Vino membuang muka seakan tak mau membuka mulut lebih jauh. Ketika Stefani hendak menyerah, justru dia baru bersuara. "Aku tidak tahu kenapa dia bisa tahu itu."

Tidak terasa, ternyata sisa waktu istirahat hanya dihabiskan dengan keheningan sesudah itu. Vino tidak mau melihat Stefani lagi. Sedangkan gadis itu berusaha mencocokkan kalimat demi kalimat untuk membuat sebuah kesimpulan.

Ketika semua orang sudah duduk di masing-masing kursi, tanpa henti ada sepasang mata menatap lurus punggung gadis tersebut.

[BERSAMBUNG]

Catatan Penulis:

Hm? Hm??? Bab ini dipenuhi dengan kata 'hm'😬

Btw, karena aku sudah lamah enggak baca cerita Wattpad, apalagi teenfic, jadi aku enggak yakin cerita modelan khas wetpet kayak yang dijelaskan MC atau enggak😭😭

Jalan pikirku sudah tercampur aduk dengan manhwa dan sinetron huhu. Sorry tapi semoga kalian tetap bisa menikmati cerita ini, ya😚

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now