18. Titik Nol

23 6 0
                                    

Entah sudah hari ke berapa untuk Diandra menginjakkan kaki di sekolah sebagai Stefani. Semakin lama ia merasa semakin terbiasa dengan kehidupan Stefani. Terlebih status gadis itu lebih kaya dibanding kehidupan lamanya.

Tapi tidak dipungkiri, ia pun lebih merindukan kehidupan 'normal'-nya sebagai Diandra.

Sesudah menarik nafas dalam-dalam, ia mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam area sekolah. Baru saja lima langkah ia berjalan, sudah ada seseorang yang menepuk bahunya. Tubuhnya berbalik malas, tetapi ia dapati itu adalah Evan yang sudah bisa kembali bersekolah. "Hari ini gue ada balapan."

"Terus?"

Sikap Stefani yang bertanya balik membuat lelaki itu heran. Kenapa harus itu malah terkesan cuek setelah beberapa hari yang lalu menawarkan diri untuk membantunya? "Ya ... Lo nggak mau ceramah gitu?"

"Sorry, but I'm not kind of people like that. Lagian kamu nggak ingat aku ngomong apa? It's not depends on other people, but it depends on yourself."

Lantas ingatan saat itu kembali lagi.

*****

"Tapi," jedanya sebelum mereka benar-benar memulai perjanjian. "Kamu harus tahu sesuatu. Nothing last forever."

Apa hubungannya? Pertanyaan itu tertera jelas di ekspresi wajah Evan. Dia gagal melihat relasinya. "Maksud lo, kalau gue berubah, perubahan gue nggak bakal permanen?"

"Bukan," sanggahnya sembari meminum segelas air. "Maksudku, aku nggak bakal ada terus untuk menemanimu selama proses perubahan. Trust me, kadang kamu yang bakal diam-diam nggak kasih tahu kamu melakukan sesuatu. Juga, itu artinya perubahanmu jangan bergantung pada orang lain, karena bisa jadi orang itu akan pergi. Sama kayak Adel. Nggak akan ada yang tahu kapan mereka pergi karena pikiran manusia itu nggak bisa ditebak."

Benar-benar sesuatu yang baru didengar. Tapi ... Apakah dia bisa memercayai itu? "Bahkan gue nggak bisa percaya diri gue sendiri. I'm suck, right?"

"It's okay." Sebuah senyuman simpul muncul di wajah Stefani. "Ini baru awal mula, titik nol. Bahkan di awal proses perubahanku, aku juga nggak yakin kalau aku bisa berubah. Sekarang tulis sifatmu apa aja yang mau diubah. Entah dari hal yang sangat mendasar sampai sesuatu yang buruk banget sampai-sampai kamu merasa hal itu mustahil untuk diubah."

*****

"Tapi kalau kayak gini caranya, bukannya lo jadi tipe orang yang ignorant?"

Apakah selama dia menjadi Stefani, dia terlihat begitu peduli dengan sekitarnya? Atau terlalu cuek? Tidak. Dia selama ini netral. Pergi menjenguk Evan sampai lelaki itu boleh pulang adalah karena rasa simpati yang berubah menjadi empati. Itu pun karena Adel yang menyuruhnya. Seandainya mantan Evan tidak melakukan itu, dia tidak akan melakukannya. Untuk apa dia melakukan sesuatu yang tidak menggerakkan hatinya sama sekali?

"Sudah, ah. Terus kenapa kalau kamu mau balapan? Memangnya kalau aku ceramah, kamu bakal nggak jadi balapan?" tanyanya balik.

"Nggak, sih," gumamnya sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Gue ada alasan khusus kenapa gue harus ikut balapan ini."

"Sejujurnya, dengan kamu jawab kayak gitu, aku semakin bingung gimana caranya melanjutkan perjanjian kita. Kelihatannya harus dirinci ulang. Besok, kalau kamu sudah selesai balapan, kita lanjut bahas. Sekarang aku mau balik ke kelas. Bye!" Tangannya melambai bahkan sebelum Evan sempat merespon ucapannya.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now