17. Sesuatu Yang Wajar

24 6 1
                                    

Sesuai janji, Stefani menghampiri dan menemani Evan untuk beberapa jam. Agar tidak begitu canggung, Stefani malah sekalian belajar di dalam ruang perawatan Evan. Malah lelaki itu yang jadi bosan dengannya. "Lo ke sini cuma buat numpang belajar aja, ya?"

"Ckck. Seharusnya kamu bersyukur aku ke sini di saat belum ada orang yang menjenguk—ah, maafkan mulutku. Lebih baik aku belajar untuk ulangan sejarah besok."

Sebenarnya Evan tidak merasa diserang dengan kalimat Stefani yang merupakan fakta. "Nggak perlu minta maaf, lo emang benar."

Gadis itu tak membalas karena sudah sibuk komat-kamit untuk menghafalkan materi sejarah wajib. Akan tetapi Evan tetap mengajukan pertanyaan yang sudah ada di benaknya sejak kapan lalu. "Btw, kenapa lo pakai 'aku-kamu'? Kayak bukan orang Jakarta aja lo."

"Emang bukan. Aku kan dari Surabaya," balas gadis itu tanpa menyadari perubahan ekspresi lelaki tersebut. Setelah yakin bahwa ia benar-benar hafal, Stefani menutup bukunya dan menatap lelaki itu. "Kenapa?"

"Gue baru tahu lo dari Surabaya. Habisnya selama ini lo diem banget, gue nggak pernah denger suara lo sebelum pagi itu kita telat barengan." Stefani hanya mengiyakan, terserah Evan mau kaget seperti apa. "Gue juga penasaran, sejak kapan lo dapat keberanian buat melawan Alexa? Sumpah, bukannya gue mau jelek-jelekin lo, tapi sejak Alexa mulai nindas lo, nggak pernah tuh lo melawan?"

"Aku juga heran," jawab Stefani dengan serius. Kemudian menaruh tangan kanan di dagu, ikut berpikir apa yang membuat sosok Stefani yang sesungguhnya bisa selemah itu. "Tapi, namanya juga pemeran utama di dunia konyol ini, dia harus lemah supaya menarik perhatian tokoh lelaki utama."

Kalimat itu membuat Evan kebingungan. Maksudnya apa? "Lo ngomong kayak gitu seakan-akan kita lagi di dunia drama."

Astaga, seandainya Evan tahu bahwa dia berada di dunia yang tidak nyata. "Sudahlah, lupakan sosokku yang lemah itu. Sekarang aku sadar bahwa itu perbuatan yang bodoh. Aku ini cukup cantik, kenapa harus mau diejek sembarang oleh Alexa itu?"

"Cukup pede juga lo." Setelah berkata seperti itu, Stefani perhatikan bahwa wajah Evan kembali murung. Astaga, wajah murung itu membuat dirinya jadi tidak tega seakan-akan lelaki itu bisa menangis kapan saja.

Dengan hati-hati, ia bertanya, "Kamu sesedih itu ya habis diputusin?" Tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini.

"Baik, aku paham. Semua orang selalu punya sisi lemahnya. Bahkan orang sepertimu pun bisa segalau ini sehabis diputusin," celoteh Stefani sebelum mulai mengambil ponselnya dan sibuk dengan isi layar tipis tersebut.

Evan mulai menghembuskan nafas berat setelah sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Dilihat dari cara Stefani bertanya dan bagaimana responnya sejauh ini, gadis itu bisa memahami dirinya sedikit. Mungkin tidak masalah kalau sesekali dia curhat kepadanya. "Stef, lo pernah nggak sih merasa kesepian? Apalagi pas tahu kalau enggak pernah ada orang yang benar-benar peduli sama lo."

Layar ponsel langsung dimatikan setelah Stefani mengerti maksud pembicaraan Evan. Setelah tiga hari berturut-turut dirinya datang ke sini, lelaki itu mulai menumpahkan isi pikirannya pada orang lain. "Mungkin pernah meski sejujurnya aku nggak pernah mengalami kesepian separah itu. Aku cuma percaya bahwa pada akhirnya yang harus peduli pada diri sendiri adalah kita sendiri. Tapi, tiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Aku nggak pernah ada di posisimu, makanya aku bisa bicara begitu dengan santai."

Semakin lama Evan yakin bahwa sebenarnya Stefani adalah gadis yang sengaja menyembunyikan kecerdasan dan kebijaksanaannya selama ini. "Sepertinya kita memang orang yang berbeda. Ya sudahlah, gue nggak jadi cerita--"

"Cerita aja, aku nggak bakal nge-judge kamu."

Alhasil setelah itu hati Evan semakin mantap untuk melakukan niatnya. "Kalau lo tanya kenapa gue bisa segalau ini, sesuai yang sebelumnya gue pernah cerita dikit. Itu karena Adel adalah cewek pertama yang menaruh perhatiannya ke gue. Sejak SMP, gue sudah mulai bandel buat cari perhatian yang gue harapkan. Awal kelas sepuluh lo pasti sudah dengar semua rumor buruk yang gue punya. Cuma Adel aja yang tiba-tiba berani buat menghadapi gue dan kasih ceramah ke gue. Awalnya gue annoying sama sifatnya, tapi ternyata itulah perhatian yang gue harapkan selama ini. Dan ... gue jatuh cinta sama dia.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora