36. Panggilan Alam

25 4 0
                                    

Jam pembelajaran masih berlangung. Tetapi panggilan alam sama sekali tidak bisa ditolak. Jadi, refleks Adit mengangkat tangan dan meminta ijin ke toilet. Dengan secepat kilat dia pergi ke toilet dan melaksanakan tugas panggilan alamnya. Ketika sudah berakhir dan mencuci tangan, seperti biasa Adit melama-lamakan jalannya menuju kelas. Perjalanan yang awalnya setengah menit saja sudah sampai di toilet, kini menjadi lima menit sendiri jika Adit sengaja mengambil jalan lain dan melambatkan laju jalannya. Rasanya migrainnya akan kumat kalau dia menghadapi berbagai angka dan huruf yang dijadisatukan dalam rumus matematika.

Jalan memutar yang Adit ambil sempat melewati taman belakang sekolah. Taman tersebut cukup sepi. Bahkan pegawai yang biasanya mengurus taman tak terlihat di mata Adit. Namun Adit tidak berniat untuk berhenti dan duduk santai di kursi taman, karena dia harus memastikan gurunya tidak menyadari dirinya hilang dalam waktu lama. Akan tetapi, saat dia hampir meninggalkan taman tersebut, di situ dia mendengar seseorang seperti sedang berbicara. Bedanya, tidak ada orang lain yang menyahut. Mungkin orang itu sedang bertelepon.

Biasanya laki-laki itu tidak peduli dengan urusan orang lain. Namun, entah kenapa sekarang dia tidak bisa menghentikan kakinya sendiri untuk berdiri di balik tembok agar bisa menguping pembicaraan orang tersebut.

"Gue sudah janji bakal bantu lo, jadi...." Sebentar, biarkan dirinya berpikir sejenak. Pemilik suara itu agak familiar bagi Adit. "Gue saranin, lo culik cewek yang namanya Stefani Abertha. Dia anak sekolah gue, gue juga sudah kirim fotonya ke lo. Urusan culik menculik gampang buat lo, kan?"

Adit tersigap saat mendengar nama Stefani. Stefani mau diculik? Dengan hati-hati, dia mencoba mencuri pandang siapa orang yang sedang telepon. Jantungnya berdegup kencang saat mengetahui bahwa orang yang memberi ide penculikan itu justru orang yang sangat dipercaya oleh murid-murid dan sekolah ini.

"Lo enggak tahu kalau mereka sudah putus? Ckck. Sekarang dia lagi deketin Stefani itu. Pasti dia bakal lebih marah kalau tahu cewek itu yang hilang daripada mantannya. Please, gak penting banget tanya kenapa mereka bisa putus. Mending lo cepetan gerak, deh. Apa? Gue yang lakuin? Gila kali. Maaf, ya. Gue bukan anggota kalian. Kita cuma kerja sama sebentar doang. Mana mau gue masuk geng lo itu."

Semakin lama Adit berdiam diri di sana, semakin dia menemukan banyak informasi. Duh, bagaimana ini? Di saat telinganya bekerja untuk menguping secara maksimal, otaknya juga harus memutar rencana agar bisa menggagalkan rencana penculikan tersebut. Dia tidak mau temannya harus mengalami penculikan itu.

"Gue sudah berkomitmen buat enggak tato badan gue. Apalagi kalau ditatoin pake gambar naga hitam. Sudah, ya. Gue—eh, sebentar. Gue tutup teleponnya." Sesudah si pemilik suara berkata seperti itu, jantung Adit berdesir lebih cepat karena dia bisa mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Kemudian disusul suara yang rupanya sudah cukup dekat dengannya. "Siapa lo?"

Kampret! Secepat mungkin Adit langsung melarikan diri, sama seperti saat dia kebelet ingin ke toilet tadi.

*****

"Van," panggil Adit. "Gue mau tanya, dong."

"Apa?" Evan tidak menunjukkan gelagat seramah seperti saat dia menemui Stefani. Tapi, meski mereka tidak begitu kenal dekat, setidaknya Evan tahu siapa itu Adit karena dulu saat masa MOS, mereka satu tim.

"Lo itu ikut geng-geng gituan, kan?"

Memang bukan rahasia lagi kalau Evan ikut geng dan suka ikut aktivitas-aktivitas di dalamnya. "Kenapa? Lo mau masuk ke geng gue?"

Mentah-mentah Adit menolak. "Enggak. Gue cuma penasaran. Geng-geng jalanan gitu biasanya punya musuh kayak di film-film enggak, sih?"

"Enggak semuanya punya. Tapi kalau geng gue sih memang ada."

"Oh, ya?" Kalau memang benar, berarti si penelepon di taman itu sedang menghubungi musuh yang berkaitan dengan Evan. "Banyak enggak?"

"Satu doang. Gitu-gitu geng gue jarang cari masalah, lah!" Entah kenapa, kelihatannya Evan bangga dengan fakta tersebut.

"Siapa nama rival lo?"

Aneh. Evan mulai menatap Adit dengan tatapan curiga. Alih-alih bertanya siapa nama gengnya, justru Adit lebih tertarik dengan gengnya. "Naga hitam." Nada bicaranya sangat rendah, sebab meski telah mengenal, dia tidak menaruh percaya pada Adit. "Kenapa?"

Sedangkan Adit sibuk dengan pikirannya sendiri. Jawaban Evan benar-benar selaras dengan percakapan penelepon tadi. "Oke. Makasih infonya, bro."

Sejak saat itu, laki-laki tersebut sering sekali keluar ke rumah. Bahkan diam-diam dia melakukan tato temporer di salon tato dengan gambar naga hitam. Jauh-jauh hari sekali sejak kehebohan itu, Adit sudah melakukan banyak hal agar mendapatkan kepercayaan instan bagi pemimpin geng itu.

"Lo kenal cewek yang namanya Stefani Abertha? Dia anak sekolah lo juga," tanya salah satu anggota penting suatu hari. Sesudah Adit menjawab, dia hendak menugaskan Adit. "Ini tugas pertama lo. Lo bujuk dia untuk keluar dari lingkungan sekolah pas jam kelas."

Dengan segala alasan, Adit berhasil menolak tugas tersebut. Dia tidak mau mencelakai Stefani. Sama sekali tidak akan. Jadi, walaupun dia harus melewati hukuman karena menolak tugas, Adit berhasil untuk tidak mengotori tangan.

Dan, kemudian tidak disangka, di hari itu, tempat biasa geng mereka berkumpul mulai terbakar. Ketika Stefani nyaris kehilangan harapan, laki-laki itu datang untuk menjalani klimaks dari rencananya selama ini.

*****

"Jadi, kalian harus berterima kasih sama Adit," ucap Stefani di akhir cerita dengan senyuman lebar. "Dia bahkan dengan sukarela pura-pura jadi anggota Naga Hitam."

Adit hanya tersenyum kaku saat mendapati bagaimana justru tatapan Evan dan Vino sama sekali tidak bersahabat, dingin, dan tidak tahu terima kasih. Evan jadi orang pertama yang berbicara sesudah penjelasan Adit dan Stefani berakhir. "Kalau lo sudah tahu, kenapa lo enggak kasih tahu gue? Padahal kalau lo kasih tahu, bisa jadi justru Stefani enggak perlu hilang! Gue bisa jaga dia, gue bisa pastiin dia selamat atau sembunyi dari kejaran mereka, kok!"

"Hei, hei!" henti Stefani. Batang hidungnya mengerut tak suka. "Aku tidak berniat menyalahkan kalian. Tapi kalau seandainya kalian tidak membakar rumah geng itu, aku pasti bisa keluar tanpa mau merasa meninggal dulu. Sudah bagus Adit bisa mudah masuk ke kamarku dan bawa aku kabur dari sana."

Evan dan Vino terdiam bersamaan. Rasa bersalah langsung menyelimuti tubuh mereka kembali. "Maaf..."

"Iya. Bukan masalah. Aku juga sekarang bingung kenapa aku enggak kasih tahu kalian saja." Adit mendesis bingung terhadap dirinya sendiri. Seperti tidak rela dan tidak kepikiran melakukan itu. Stefani menepuk bahu laki-laki itu. "Enggak apa-apa. Kalau semisalnya dia memberitahu kalian dan kamu berusaha untuk menyembunyikan aku dari mereka, entah sampai kapan kita harus bersiaga dan terus bersembunyi. Dan, tidak bisa hidup dengan tenang. Lebih baik, kan, seperti ini. Mereka tidak akan melakukan itu lagi padaku."

"Gimana kalau ternyata mereka masih akan menculikmu lagi?" ujar Vino yang sedaritadi tidak mengeluarkan sepatah kata.

"Kurasa ada yang sudah menghabisi ketuanya," sindir Stefani pada Evan. Otot wajah yang semula santai langsung menegang ketika memindahkan bahasan topik. "Tapi, sejujurnya aku tidak akan memaafkan Arden. Aku sudah menebak, sejak aku menghentikan perbuatannya kepada Alexa, dia punya dendam tersendiri padaku dan akan melakukan hal jahat. Jadi, aku serahkan Arden ke ... salah satu dari kalian. Bisa, kan?"

[BERSAMBUNG]

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now