11. Ketua OSIS Sinting

32 6 0
                                    

Setelah mengantarkan Stefani pulang, Evan nongkrong di salah satu warung kopi. Sekalian minum kopi hitam, dia hendak merokok juga.

Baru saja dia duduk dan hendak mengeluarkan satu batang rokok, gerakan tangannya berhenti. "Tapi Adel nggak bakal suka kalau gue rokok...."

Gadis itu biasanya selalu tahu kapan saja Evan merokok sampai dirinya merinding sendiri, kemudian akan memarahi dirinya dan mencoba menyimpan semua kotak rokok yang dimiliki Evan tanpa membuangnya. Entah apa niatnya yang sesungguhnya. Tapi sejak berpacaran dengan Adel, dirinya jadi jarang merokok.

Tapi, sekarang mereka telah putus. Tidak akan ada lagi orang yang melarang dan memarahinya karena merokok.

Kembali ia mengambil satu batang rokok dan hendak menyalakannya, namun tangannya terhenti lagi. Berakhir ia membuang sembarangan batang rokok itu. Karena wajah Adel masih terbayang-bayang, dia tidak bisa merokok sama sekali. "Ck, kenapa sih dia minta putus? Hanya karena gue nggak sengaja bentak dia?"

Dan, kenapa pula dia masih terpikirkan oleh Adel? Padahal awal mula ia berpacaran dengan gadis itu hanya karena penasaran bagaimana rasanya berpacaran dengan anak baik-baik.

Kopi hitamnya datang tapi tidak langsung diminum. Dirinya masih melamun dalam pikirannya sendiri.

Sepertinya Adel telah menjejakkan kenangan yang susah untuk dilupakan. "Kenapa sih gue ini?!"

Ternyata menyendiri seperti ini tidak bagus untuk pikirannya sendiri. Ogah sekali Evan untuk berlarut dalam kesedihan, yang dia butuhkan sekarang adalah sesuatu yang mampu membuatnya lupa pada gadis itu.

Jadi, dia putuskan untuk ke panti asuhan, rumah lamanya.

*****

"Alexa, lo apain Stefani lagi?" Baru saja datang ke kelas Alexa selepas bel pulang berbunyi, Arden langsung menginterogasi gadis tersebut. "Tadi gue dikasih tahu anak-anak kalau mereka lihat Stefani pulang bareng Evan setelah istirahat selesai. Gue tanya ke guru yang bertugas, mereka sudah ijin pulang duluan."

"Terus lo langsung nuduh gue yang jadi penyebab dia pulang duluan? Please, deh. Gue nggak ngapa-ngapain, kok!"

"Serius? Kalau gitu kenapa anak-anak juga bilang lo sudah siap dengan telur mentah sama tepung? Terus di tengah lapangan lo sama Evan sempet marah-marah, sedangkan Stefani cari perlindungan di belakang Evan. Gue yakin lo pasti mau berniat buruk ke Stefani, makanya cewek itu ketakutan terus pulang duluan." Bukti-bukti yang diberikan Arden membuat Alexa tidak berkutik. Akan tetapi bukan Alexa namanya jika tidak berusaha menyangkal meski dirinya memang salah.

"Ya cewek itu aja yang pengecut kali! Lo ini makin lama bikin kesel, ya? Cepet pergi dari hadapan gue! Gue mau pulang!" Alexa sengaja menyenggol kasar tubuh Arden, akan tetapi lelaki itu menahan pergelangan tangannya.

"Alexa, lo harus dihukum sesuai peraturan sekolah yang berlaku. Sejak awal gue mencalonkan diri sebagai ketua OSIS, visi gue adalah menjadikan sekolah jadi lingkungan belajar yang tentram. Bukannya ketakutan karena ada cewek preman kayak lo." Alexa terhenyak mendengar perkataan Arden. Tunggu, dia disebut sebagai cewek preman? Dirinya yang sangat terawat ini?

"Lo ini buta, ya? AW! Heh, Arden! Lepasin gue!" Gadis itu terus menjerit, Arden menariknya terlalu kasar. Ia khawatir pergelangan tangannya menjadi retak karena dicengkram begitu kuat. "Ketos macem apa lo nyeret-nyeret siswi kek gini, hah! Arden!! Lepasin gue, nggak?!"

"Kalau gue gak kayak gini, lo gak bakal kapok, Lex. Selain gue, gak bakal ada yang berani hukum lo." Sialan, apa yang Arden katakan memang benar. Alexa sudah kebal dengan guru, hanya ketua OSIS-nya saja yang tidak bisa dilawan karena memiliki latar belakang sederajat dengannya.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now