37. End of Confession

40 6 2
                                    

Satu sekolah dikejutkan oleh berita di mana Arden memutuskan untuk pindah sekolah secara tiba-tiba, terlebih lagi dia pindah ketika semester genap baru berjalan setengah masa. Biasanya tidak mungkin murid sekolah biasa mampu keluar di pertengahan semester, tetapi tidak dengan Arden. Dia tetap bisa melakukannya jika dia mau.

Tentu banyak yang merasa menyayangkan hal tersebut. Apalagi Arden adalah murid yang sangat cerdas dan merupakan ketua OSIS yang sangat bisa diandalkan. Kepergiannya juga membuat huru-hara karena akhirnya pihak sekolah harus membiarkan posisi ketua OSIS kosong sampai periodenya selesai.

Tentu saja tidak semua orang merasakan kesedihan yang sama saat mendengarkan cerita tersebut. Ada beberapa anak seperti, Stefani, Alexa, Vino, dan Evan. Memang cukup kurang greget hanya dengan kepergian Arden begitu saja tanpa menghadapi karma, tapi mau gimana lagi? Bahkan berkat berita tersebut, akhirnya Alexa kembali mendekati Stefani tanpa niatan buruk. "Lo santai aja natap gue. Gue enggak makan orang, kok."

Tapi kelakuanmu dulu kayak setan, batin Stefani tanpa berniat mengungkapkan isi hati. 

Sebelum mengatakan niatnya, berkali-kali Alexa mengambil nafas dan menatap dalam gadis yang dulu sangat dia benci. Sekarang, sih, masih tidak suka. Tapi sudah tidak sebenci dulu. "Thank you. Gue enggak tahu lo pakai cara apa sampai si berengsek itu keluar dari sini, tapi gue harus apresiasi dan berterima kasih ke lo."

Sebenarnya Stefani pun tidak punya cara khusus untuk membuat Arden pergi. Ia duga, Vino atau Evanlah yang melakukannya. Tapi, tetap dia menerima rasa terima kasih tersebut. Sesudah ucapan terima kasih tersebut, Alexa pergi tanpa meminta maaf sama sekali. Sepertinya itu menandakan dia masih ingin mempertahankan rasa sukanya terhadap Vino. Baiklah, Stefani tidak berniat untuk mempermasalahkan hal tersebut.

Di hari yang berlangit biru dan tidak panas, Evan mendekati Stefani yang sedang membaca novel terjemahan 21+ (bagaimanapun juga, jiwanya sudah berumur lebih dari 21 dan beruntungnya tidak ada yang tahu rating umur novel tersebut.) "Stef." Gadis itu tersentak dan berusaha untuk menutup novel tersebut dengan cara sesantai mungkin. "Ya?"

"Lagi baca apa?" tanya Evan sebagai basa-basi. 

"Novel."

"Tentang apa?"

"Cuma tentang pasangan yang lagi jatuh cinta kaya novel romansa kebanyakan," jelas Stefani singkat. Evan mengangguk dan untuk sesaat suasana berubah menjadi canggung. Gadis itu sudah meletakkan novelnya di samping dan menunggu Evan mulai berbicara, tapi cowok itu belum kunjung mengatakan apa-apa. "Kenapa ke sini?"

Diam-diam gadis itu bisa mendengar bunyi gertakan gigi dari lawan bicaranya. Evan tengah merutuk diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa dia bersikap seakan tidak tahu cara menyatakan perasaannya kepada Stefani? Padahal dulu dia sudah pernah menembak Adel. Tapi, kenapa sekarang tidak bisa?

Stefani mengecek jam tangannya, sebentar lagi istirahat akan selesai namun Evan masih belum mengatakan apapun. Sebentar lagi kita masuk, lho. Ada apa, sih?"

Menyadari bahwa waktu mereka hanya sebentar, barulah Evan menguatkan tekad sekali lagi. "Sebenarnya ... Gue ... Suka sama lo." Dan, begitulah bagaimana pernyataan perasaannya keluar. Ia beranikan diri untuk melihat mata Stefani. Gadis tersebut mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian mengernyit seperti tidak tahu apa yang harus ia perbuat dengan pernyataan tersebut.

Mendadak hatinya mulai gundah dan mengirimkan sinyal yang tidak bagus pada otaknya. Apakah dia menolakku? "Lo enggak perlu--" Saat dia hendak berkata bahwa Stefani tak perlu menjawab sekarang, gadis itu sudah menyela dulu.

"Bisakah kita cuma jadi teman saja?" tanya Stefani memelas. Bukannya ia tidak suka atau tidak menghargai Evan. Justru dia cukup nyaman ada di dekat Evan. Namun, keadaannya membuat dirinya tidak mampu untuk menerima Evan sebagai pasangannya.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang