07. Mengamuk

40 7 0
                                    

Bel sekolah telah berbunyi. Vino keluar sedikit lebih lambat dibanding yang lain karena ia masih menyelesaikan tugasnya. Sedikit lagi dikerjakan, maka ia tidak punya tugas untuk dikerjakan di rumah. Merasa bahwa itu adalah hal bagus, Vino lebih memilih pulang terlambat.

Hanya saja ternyata keterlambatannya masih harus disertai dengan keberadaan Alexa yang menunggu dirinya. "Vin, kamu kan bisa kerjain di rumah. Kenapa nggak pulang sekarang aja, sih?"

Malas menanggapi, Vino tidak memberikan jawaban apapun sampai Alexa jadi merasa sebal dikacangin.

Sampai lelaki itu merapikan semua barangnya dan menuruni tangga, Alexa tetap menempel di samping Vino. Stefani yang belum pulang melihat dari jauh. "Astaga, apa dia nggak sadar kalau perbuatannya terlalu berlebihan?"

Tanpa sengaja, saat Vino mengedarkan pandangannya, kedua pasang mata mereka bertemu. Kakinya terdiam sesaat sampai Alexa kebingungan dengan sikap lelaki itu. "Vin, kok diem?"

Stefani jadi orang pertama yang memutuskan kontak mata. Jika tidak, bisa jadi lelaki itu tidak akan pernah melepaskan tatapan matanya.

Barulah Vino melirik Alexa sebentar sebelum pergi ke tempat parkir.

Si gadis itu tidak kunjung berhenti menjadi parasit. Kesal, dengan nada dingin Vino bertanya, "Lo mau ngapain?"

"Kamu bisa nganterin aku pulang, nggak? Kebetulan supirku lagi nyetirin mamaku yang mau ke bandara."

"Terus peduli gue apa?" Sehabis mengatakan itu, Vino cepat-cepat menekan tombol di kunci mobilnya dan masuk ke dalam tanpa membiarkan Alexa mengambil kesempatan.

"Vin!"

"Alexa!" Seseorang dengan nada familiar menyebalkan memanggil namanya. Alexa memutar mata malas tanpa menoleh pada pemilik suara.

Sampai mobil Vino keluar dari area sekolah, Alexa tetap mengacuhkan panggilan Arden.

Arden mencoba mengejar Alexa. Dengan kedua mata yang belum minus, Stefani bisa melihat Arden mencoba meraih pergelangan tangan Alexa. Akan tetapi gadis itu segera menepisnya. Sekali lagi sang ketua OSIS mencoba menghentikan Alexa. Mereka berhasil berbicara meski Alexa terlihat marah-marah dan kembali meninggalkannya sendirian.

Sekilas Stefani bisa melihat tatapan kesedihan yang diberikan Arden pada punggung Alexa yang terus menjauh.

Hm, Stefani jadi penasaran. "Kenapa dia melihat Alexa sampai segitunya?"

Ia seperti mencium sesuatu, tapi memutuskan untuk tidak peduli karena itu bukan urusannya.

Tidak lama lelaki itu mengambil ponselnya dan menerima panggilan. Muka sedihnya segera berganti menjadi tegang, setelah mematikan ponselnya, Arden segera pergi dari kawasan sekolah.

Sebelum Stefani berteori lebih lanjut, mobil milik keluarganya datang. Segera Stefani masuk dan mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

*****

Beberapa anak sudah berkumpul di gang kecil. Ada wajah-wajah yang Arden kenal, ada juga yang tidak. Saat Arden mendekat, dia sudah merasa waspada dengan anak-anak yang berpenampilan berantakan.

"Den, ini gue Adel. Bisa tolong periksain Evan nggak? Dia mau tawuran lagi hari ini, tadi sudah gue tegur. Tapi gue nggak yakin dia dengerin gue," pinta tolong Adel. Arden melebarkan matanya sejenak. Evan mau membuat masalah apa lagi? "Sesuai infonya, dia ketemu anak sebelah di gang 5 sebelah sekolah itu."

Maka di sinilah dia sekarang. Sudah berancang-ancang hendak menghentikan perkelahian itu.

Di dalam gang, Evan tengah mengobrol sembari menahan emosinya. Arden bisa melihatnya melalui kepalan tangannya. Semakin tangannya mengepal dengan keras, maka emosinya semakin memuncak dan kepalan tangan itu siap untuk menonjok orang kapan saja.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now