31. Ngambek

25 5 0
                                    

Alexa tak mau membicarakan kenapa Arden bersikap sampai segitunya padanya. Jadi, Stefani pun tak memaksa. Toh dia bisa menebak-nebak sendiri. Tapi, setelah kejadian tersebut, hatinya terus menerus gelisah ketika harus pergi ke sekolah.

Mau tidak mau dia harus bertemu dengan Arden.

Ketua OSIS itu bukan ketua OSIS yang biasanya menyenangkan di dunia fiksi. Khusus untuk Arden, dia itu orang gila dan psikopat!

Memang, sebelum Stefani membuka pintu dan mengguyur penuh badan Arden, dia mencoba menguping pembicaraan. Kebetulan Arden terlalu bodoh untuk mengecek ulang apakah pintunya benar-benar tertutup atau tidak.

Dan, yang paling membuatnya terkejut, Arden memaksa Alexa membunuhnya. Siapa lagi yang akan memaksa seseorang membunuh dirinya jika bukan psikopat?!

Oke, maafkan kalau kosa kata psikopat mungkin ternyata tidak tepat untuk menjelaskannya. Tapi, kurang lebih seperti itulah keadaannya.

Seperti biasa, salah satu kewajiban siswa sekolah adalah belajar di sekolah. Jadi, mau tidak mau dia harus pergi ke sesekolah dan memberanikan diri jika tidak sengaja berpapasan dengan Arden.

Seperti saat ini!

Arden sedang berdiri di hadapannya sambil tersenyum seperti biasa.

Duh, ralat. Dia bukannya tidak sengaja berpapasan dengan Arden. Justru cowok aneh itu sengaja mendekatinya.

Entah sudah berapa bpm detak jantungnya saat ini. Yang jelas dirinya sudah berkeringat dingin. Sayangnya tidak ada seorangpun yang menyadari kegrogian Stefani.

"Hai, Stef," sapa Arden dengan ramah. Ewh, terlihat ramah sekarang terlihat menakutkan di matanya.

"Ya." Tak mau memperpanjang percakapan sebelum hal-yang-tidak-diinginkan terjadi, Stefani hendak melewati cowok itu begitu saja.

"Semoga enggak diikuti. Semoga enggak diikuti. Semoga enggak diikuti." Berkali-kali dia mengulang frasa tersebut bak mantra ajaib dalam hati. Ketika sudah agak jauh, barulah Stefani berani menoleh dan menyadari dirinya terlalu ge'er. Ternyata Arden tak tertarik mengikutinya.

Ketika dia hendak berjalan lagi, barulah Stefani sadar bahwa dia ada di lorong seberang kelasnya. Lebih tepatnya ini adalah lorong yang menuju kelas Evan. Untuk kembali ke lorong kelasnya tanpa melalui jalan tempat ia bertemu Arden lagi agak cukup jauh karena harus turun di tangga ujung lorong. Tapi, ya sudahlah. Dia lalui tanpa banyak memikirkan hal.

Kebetulan sekali, Evan keluar dari kelas sembari bergurau dengan temannya. Otomatis matanya melirik ke Stefani yang jalan sendirian tanpa sadar. Raut wajahnya berubah begitu cepat dan berulang kali meneguk ludah.

Ketika ternyata Stefani hanya melaluinya begitu saja—entah apakah pura-pura tidak tahu atau beneran tidak tahu, laki-laki itu malah jadi menyesal sendiri.

"Lo kenapa, sih?" tanya temannya yang menyadari sikap aneh Evan. "Lo habis lihat siapa? Adel? Atau ..." Ketika si teman turut mendongakkan kepala untuk celingak-celinguk, si teman melanjutkan tebakannya. "Stefani? Lo serius sekarang demen sama cewek itu?"

"Apa sih." Evan berusaha menyangkal sambil memalingkan muka dan memegang tengkuk.

"Kalau lo enggak suka dia, kayaknya gosip itu enggak bakal ada, deh."

"Maksud lo? Apa hubungannya? Kok bisa?"

"Ya, kan, lo kelihatan dekat sama dia. Gue tahu banget lo ogah deketin cewek kalau lo enggak suka itu cewek. Kan dulu pas lo pacaran sama Adel, nempelnya di Adel terus seakan-akan cewek di dunia ini cuma Adel. Nah, sekarang lo deketin Stefani. Makanya gue tebak lo suka dia. Dan, karena lo kelihatannya suka sama dia, gosip pelakor itu muncul, deh!" terang si teman panjang lebar yang hanya dibalas dengan decakan kekesalan Evan.

"Sotoy lo."

"Halah! Bohong terus lo! Sana lo datangin dia! Mumpung dianya belum jauh."

"Enggak." Alih-alih mendengarkan, justru Evan kembali masuk ke kelas. Si teman yang sudah begitu yakin dengan dugaannya jadi bingung dan mengekori cowok itu.

"Serius? Nanti lo nyesel lagi kalau enggak datangin dia sekarang."

"Ya elah. Gue enggak datangin dia sekarang kan bukan berarti gue enggak bisa datangin dia nanti atau besok. Sudah, ah! Minggir lo dari meja gue! Gue mau tidur dulu!"

Akhirnya si teman pergi dan Evan mendapatkan ketenangan dari sana. Meski begitu, dia tidak benar-benar tertidur karena memikirkan Stefani. Akhir-akhir ini tanpa bisa dikendalikan, dia memang terus memikirkan gadis tersebut.

Drrtt!

Ponselnya bergetar. Dengan malas ia menyalakan layar ponsel dan melihat notif singkat.

Stefani: Van, sore ini mau jalan enggak? Aku.....

Meski sedang kesal, Evan langsung mengusap layar ke atas untuk membuka pesan secara penuh.

Stefani: Van, sore ini mau jalan enggak? Aku lagi kosong nih.
Stefani: Sekalian kita ke kafe yang pas itu mau kamu tunjukkin. Pas itu kan aku enggak bisa datang.

Ingin sekali Evan membalas, 'OKE BANGET INI MAH' tapi dia harus menahan diri sebab masih ada gengsi yang tersisa.

Evan: Band nya enggak bakal datang lagi. Sabtu kemarin jadi penampilan terakhir mereka.

Dengan cepat dia kembali mendapatkan balasan.

Stefani: Jadi enggak mau, nih?

Evan: ya

Stefani: Oke deh.

Lihat? Gadis itu bahkan tidak peduli dia menolak atau tidak. Tidak sepertinya yang terus kepikiran alasan kenapa Stefani menolak.

Stefani: Btw kamu kenapa sih?
Stefani: Tadi aku mau nyapa kamu. Tapi kamu kelihatannya lagi badmood.
Stefani: Aku ada salah?

Iya. Ada salah.

Evan: Gak ada.

Balasan terakhirnya hanya dibaca Stefani sebelum status Stefani berubah offline. Lagi-lagi dia kesal karena merasa dikacangi. Tapi mau gimana lagi? Dia menjawab tidak ada salah dan mungkin Stefani menganggap itu memang benar sehingga tak perlu dibalas lagi.

Sejak percakapan itu, Evan belum lagi melihat Stefani. Bahkan esok dan esok harinya. Meski terkadang dia merindukan gadis itu dan sengaja datang ke sekolah sepagi mungkin, dia belum juga melihat Stefani.

[BERSAMBUNG]

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now