28. Waktu Bersama

24 7 0
                                    

Sesuai perjanjian, hari Sabtu Stefani memutuskan untuk pergi bersama Vino. Bagaimana dengan Evan? Sebenarnya Stefani masih punya waktu untuk jalan-jalan bersama dia, tapi gadis itu sudah menolak duluan.

Kini, dalam balutan cardigan lilac kebesaran, Stefani berjalan bersampingan dengan Vino. Warnanya cukup mencolok jika dibandingkan dengan Vino yang lebih nyaman menggunakan kaus hitam lengan panjang dengan tiga kata yang turut menghiasi dalamnya. Tadinya, saat Vino menjemput, dia cukup terperangah menyadari bahwa proporsi badan cowok itu memang bagus. Hanya dengan kaos hitam polos tidak membuatnya kehilangan pesona.

Selain itu, ketika mereka bisa berjalan sedekat saat ini, Stefani bisa mencium aroma wewangian yang jelas dari Vino. Dia tak pintar menjelaskan tapi awalnya bau lelaki di sampingnya samar-sama tercium lavender. Namun setelah berjalan lebih lama, lavender berganti menjadi jasmine. Terakhir, ketika mereka hendak pulang, samar-samar semakin lama wanginya terasa lebih hangat. Sepertinya di sekolah dia tidak menggunakan parfum itu karena wangi tubuh sehari-harinya tidak sekuat hari ini. 

"Seingatku buku itu terakhir diterbitkan lagi dua tahun lalu," beritahu Vino tanpa diminta. "Mungkin agak susah buat kita cari."

"Tahu gitu mending beli di online shop aja," balas Stefani menggerutu ke diri sendiri.

"Tapi bukunya pasti dijual di sini, kok. Kita pasti bakal ketemu bukunya." Stefani meneguk ludah mendengar kalimat optimis Vino sesudah memberitahu hal yang membuat pesimis. Apakah boleh dia menyimpulkan Vino sengaja memberitahu untuk tidak pulang terlalu cepat agar mereka bisa berduaan lebih lama?

Secara, Vino kan menyukainya. Pasti sebisa mungkin dia ingin menghabiskan waktu bersama orang yang ia sukai.

Kecanggungan kembali bertemu dengan keheningan mendadak di antara mereka. Satu per satu rak mulai mereka susuri--lebih tepatnya Stefani yang menyusuri. Vino hanya terus mengekorinya. 

Seperti yang laki-laki itu sudah katakan, meski mereka mencari di kategori yang benar, sama sekali tak tampak kehadiran buku itu. Ujung-ujungnya mereka berinisiatif menanyakan petugas untuk membantu mencari. Tidak butuh lima menit, buku sudah ada di tangan gadis itu. 

Seharusnya mereka segera pulang setelah mendapatkan buku yang diinginkan.

Tapi, ada yang masih tidak rela waktu kebersamaan mereka sesingkat itu. "Kamu enggak mau cari buku lain?"

"Kebetulan aku lagi bawa uang sedikit, sih."

"Aku yang belikan. Oh, aku juga mau cari buku buat persiapan lomba." Baru teringat dia dengan alasan tambahan yang mampu memperpanjang waktu berdua. Ketika Vino yang sekarang menuntun jalan di depan, Stefani diam-diam terkekeh sebelum kembali menyamakan langkah.

Kala Vino sibuk--sungguhan, tidak dibuat-buat--mengecek buku-buku soal satu per satu, tiba-tiba Stefani berceletuk menanyakan hal yang membuat Vino terdiam. "Omong-omong, kenapa kamu suka aku?"

Bak disihir menjadi patung dadakan, tangan Vino berhenti di udara sebelum kembali bertingkah. Saat Stefani menoleh, dia sudah mendapati Vino tersenyum lebar. Catat, senyuman lebar yang baru pertama kali ia lihat tercipta di garis bibir cowok itu. Hanya dengan senyuman itu, pesona Vino meningkat berkali-kali lipat. Apalagi saat pantulan cahaya yang tembus dari jendela turut menyinari Vino. Laki-laki itu semakin tampak ethereal

"Aku ... juga enggak tahu. Pertama kali kita bertemu, aku langsung menyukaimu. Aneh, ya?" 

"Tanpa alasan, ya ..." Stefani melemparkan pandangan ke lantai. Dengan suara mencicit, ia melanjutkan, "Kalau begitu apa kamu masih menyukai Stefani yang sekarang?"

Pertanyaan itu terdengar aneh dan sudah punya jawaban pasti tersendiri. "Tentu saja. As long as you are Stefani."

Masalahnya, sekarang Stefani bukan lagi Stefani. Melainkan Diandra yang menjadi Stefani. Miris. Apakah Vino benar-benar menyukai Stefani sampai tidak peduli siapapun jiwa di dalam tubuh gadisnya, dia tetap menyukainya atau ... perasaan sukanya masih belum seberapa sampai tak bisa menyadari perbedaan besar antara Stefani dan Diandra?

Percakapan mengenai itu berhenti di sana. Sesudah mendapatkan yang diinginkan--omong-omong Stefani berakhir membeli beberapa novel karena Vino menseriusi ucapannya--mereka pergi ke sebuah kafe. Kebetulan sedang berlangsung live music di kafe tersebut.

Sekilas melihat menu, gadis itu langsung menyebutkan sembarang nama makanan dan minuman favoritnya, lemon tea. Vino juga turut memesan makanan sebagai pengganti makan malam dan kemudian bersama-sama mendengarkan nyanyian sang vokalis.

Tidak ada ketegangan atau kecanggungan lagi di antara mereka. Jadi, Stefani putuskan untuk menanyakan sesuatu yang sudah sejak kemarin-kemarn menghantui pikirannya. "Vin, dulu kamu dekat sama Arden enggak, sih?"

Suaranya tenggelam akibat suara vokalis sampai-sampai Vino meminta Stefani mengulang pertanyaan dengan volume lebih besar. "Dulu kamu sama Arden sahabatan, kan?"

"Oh, itu...."

Hanya dengan satu nama, laki-laki itu mulai tampak tak nyaman.

Merasa seharusnya dia tak menanyakan pertanyaan personal sama sekali, gadis tersebut lekas meminta maaf. "Kalau kamu enggak mau jawab, it's okay, kok. Maaf, ya."

"Enggak apa-apa. Hm ... Mungkin, nanti. Aku janji, aku jawabnya nanti." Tanpa diminta, Vino membuat janji untuk menjawab secara khusus. Untuk mengurangi perasaan beban, Stefani mengarahkan pembicaraan ke topik lain, topik yang lebih ringan untuk dibicarakan.

Saat itu Stefani tidak tahu bahwa kafe yang mereka kunjungi adalah kafe langganan Evan, tempat di mana cowok itu juga hendak membawa Stefani bersamanya. Namun apa daya, Stefani menolak terlebih dahulu sehinggan Evan datang sendirian. Seberang meja Vino dan Stefani, terdapat Evan di sana. Kala pasangan itu tertawa atas ucapan mereka sendiri, Evan menatap mereka dalam-dalam sambil terus menerus memikirkan sebuah pertanyaan yang sama.

Kenapa Stefani menolak ajakannya?

[BERSAMBUNG]

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now