16. Disuruh Jenguk

26 6 0
                                    

"Dit, minta nomormu, dong." Minta Stefani pada Adit. Ia sudah menjulurkan ponselnya agar lelaki itu bisa langsung mengetikkan nomornya. Orang yang diminta tidak serta merta langsung memberikan nomornya, tapi memandanginya dahulu. Sebagai informasi tambahan, Stefani melanjutkan perkataannya, "Kalau sewaktu-waktu aku butuh informasi tambahan untuk tugas, aku bisa langsung kontak kamu."

Tangannya mengambil ponsel Stefani dan langsung mengetikkan nomorku. "Lo nggak minta nomor telepon anak lain?"

"Kayaknya mereka nggak tertarik sama aku. Cuma kamu yang sering ngobrol sama aku." Hal itu merupakan kenyataan yang mengenaskan. Sejauh ini memang hanya Adit yang berani berbicara dengannya, sejak kelas olahraga tersebut.

"Ah, iya. Harusnya gue ingat itu." Ada rasa bersalah yang merayap di dalam hatinya. Sejauh ini memang semua anak di kelas ogah mendekati Stefani kecuali Alexa beserta dua temannya dan dirinya.

Mereka lanjut berbicara topik kecil sebelum ada seseorang yang memanggil namanya. "Stefani."

Orang yang namanya disebutkan segera menoleh dan menyadari bahwa mantan Evan lah yang memanggilnya. Stefani menghampiri Adel yang tidak kunjung beranjak dari depan pintu kelasnya. "Iya?"

"Lo tahu kalau Evan masuk ke rumah sakit?" tanyanya langsung.

"Iya." Dilihat dari pertanyaannya, seperti Adel sedang memaksudkan hal lain.

"Gue boleh minta tolong, nggak?"

Nah, kan. Firasatnya berkata benar. "Bantuan apa yang bisa aku kasih?"

Adel menyampaikan permintaannya dan Stefani mempertimbangkan ulang. Mengapa dia harus melakukan itu? Toh dia tidak dekat dengan Evan. "Kayaknya aku nggak bisa, deh. Pertama, aku nggak tahu Evan dirawat di mana. Aku cuma dengar sekilas kalau dia masuk rumah sakit. Kedua, kita nggak sedekat itu sampai-sampai aku harus menjenguk dia."

"Please." Wajahnya tampak memelas akan tetapi Stefani tetap kukuh menolak. Apa pula alasannya dia menjenguk? Bisa jadi keadaannya malah canggung. "Gue tahu kok rumah sakit dan ruangan dia dirawat ada di mana. Lo juga cukup kasih barang dari gue buat dia."

"Kenapa nggak kamu langsung aja? Pasti Evan lebih senang dijenguk kamu dibanding aku, kan?" Adel terhenyak mendengarnya, dirinya yang sudah gugup semakin gugup. "Aku tahu kamu mau ketemu sama dia, tapi terhalang gengsi, kan?"

Sesekali jika gengsi itu dihalangkan, bukan kah semuanya akan terasa lebih mudah? Mengapa Adel harus merepotkan orang lain hanya karena gengsi dari dirinya sendiri? "Aku rasa aku nggak bisa bantu."

Dengan cepat tangan gadis itu menggenggam tangan Stefani. "Stefani, please tolongin gue. Iya, gue memang gengsi. Dan, gengsi adalah hal yang susah untuk dihilangkan. Gue juga harus sadar posisi gue sekarang. Setidaknya gue kemarin-kemarin lihat lo pulang bareng Evan. Kalau kalian nggak cukup dekat, Evan nggak bakal mau melakukan hal itu."

Hanya itu saja? "Kamu yakin? Padahal kurasa--"

Tidak ingin mendengar alasan lain untuk menolak, Adel segera menyela. "Stefani. Help me, please. Lo cuma perlu datang, kasih berangnya, pulang. Itu saja. Mudah, kan?"

Setelah menghela nafas untuk menyakinkan diri sendiri, ia menyetujuinya. "Oke, aku langsung bilang barang itu darimu aja, kan?"

"Uh ... Kalau bisa jangan." Jawaban itu membuat Stefani menjadi malas lagi.

"Jadi maksudmu aku harus terlihat aku datang karena aku peduli dengannya? Bukan karena disuruh kamu? Barangmu diatasnamakan barangku? Begitu?" Hal tersebut langsung diiyakan. Lebih baik seperti itu, menurut Adel. "Kamu yakin?"

"Yakin."

"Nggak bakal menyesal?"

"Nggak ... bakal?"

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now