32. Di Mana

21 7 0
                                    

"Stefani di mana?" tanya sang guru yang mengajar pelajaran terakhir hari ini. Semua kompak menjawab tidak tahu. Ada yang menjawab lantang, ada yang hanya mengendikkan bahu atau menggelengkan kepala, ada juga yang diam dan turut mempertanyakan di mana Stefani sekarang. "Ada kasih ijin enggak?"

"Enggak, bu. Tadi dari pagi sampai sebelum istirahat dia masih ada di sini, kok."

Mungkin sang guru menganggap Stefani sedang kabur meski itu bukan Stefani banget. Tetapi daripada mengulur-ulur waktu pelajaran, lebih baik dia langsung memberi tanda A pada nama Stefani.

Sampai besok-besoknya, Stefani masih belum datang. Hari demi hari Vino tidak bisa tidur nyenyak seperti ada yang salah dengan absennya Stefani.

"WOI!" teriak Evan dari lapangan, entah kepada siapa dia memanggil. Nyaris sebagian warga sekolah menoleh ke sumber suara, termasuk Vino. Sebelum Vino membalikkan kepala karena merasa tidak dipanggil, sekali lagi Evan berteriak, "WOI JANGAN PERGI DULU."

Buru-buru Evan melempar asal bola basket yang sedang dipegang dan lari menghampiri Vino. 

"Kenapa?"

"Stefani. Stefani masuk enggak, sih?" Ia tampak berharap ketika menunggu Vino menjawab. Namun saat Vino menggeleng, tampangnya langsung berubah kecewa sekaligus menyesal. "Serius? Dia ada kasih surat ijin enggak?"

Sebenarnya urusan surat ijin murid-murid sekelas bukan urusan Vino. Tetapi khusus untuk Stefani, laki-laki itu secara inisiatif bertanya sendiri ke wali kelas. Dan, jawabannya benar-benar membuat penyesalan Evan memberat berkali-kali lipat. "Enggak ada."

"Shit. Gue harus cek ke rumahnya. Ya udah, gue pergi—"

"Eits." Tahu-tahu tangan Vino sudah berada di bahu Evan sebelum cowok itu meninggalkannya sendiri. "Gue ikut lo kalau gitu."

"Huh? Jangan bilang lo enggak tahu alamat rumah cewek yang lo sukai?" Ya. Evan pun tentu sudah tahu berita kalau Vino sudah menembak Stefani.

"Tahu. Tapi...." Lidahnya kelu tidak mampu menyelesaikan. Tentu saja jelas dia tahu di mana alamat Stefani. Saat mereka ke toko buku, kan, dia yang menjemput dan mengantar sampai pulang. Masalahnya, sampai sebelum Evan mendatanginya, dia takut jika ternyata Stefani juga tidak ada di rumahnya.

Ogah menunggu lama-lama hanya untuk Vino menyelesaikan kalimatnya, Evan langsung memberi perintah. "Sehabis pulang ini gue tunggu lo di parkiran."

Vino sama sekali tak menduga Evan akan mau menunggunya dengan sabar. Padahal kelihatannya cowok itu bukan tipe penyabar. Ya, memang benar, sih. Saat Vino baru memunculkan batang hidungnya, Evan terus menerus mengomel. Dia merasa Vino sengaja melama-lamakan diri di dalam kelas. Padahal saat bel pulang berbunyi, Vino bergegas keluar—dan ternyata Evan lah yang keluar dari kelas sebelum pelajaran berakhir. Pantas saja terasa lama.

Mobil Evan pergi menuju rumah Stefani. Ketika berkunjung, sang satpam langsung berhasil menebak, "Kalian cari Nak Stefani, ya?"

"Iya, Pak."

Wajah satpam itu agak pucat lesu tapi memaksa untuk menggerakkan kedua sudut bibir ke atas. Ketika dibiarkan masuk, mereka berdua menghadapi betapa kosongnya rumah ini. "Pak, Ibu sama Bapak ada di rumah enggak, ya?" tanya Vino secara sopan.

"Bapak lagi kerja. Tapi Ibu lagi di kamarnya. Tadi sudah dipanggil sebelum saya bolehin kalian masuk. Sebentar lagi pasti keluar, kok." Satpam membiarkan kedua remaja laki-laki itu menunggu di sofa tamu. Sesuai yang diucapkan, akhirnya Ibu Stefani muncul dengan wajah yang lebih pucat daripada satpam tadi. Baik Vino atau Evan sama-sama menduga ada yang tidak beres.

"Bu, kalau boleh tahu, Stefani kenapa belum masuk sekolah, ya? Sudah seminggu dia tidak ada ijin." Vino duluan yang memutuskan membuka suara sebab tiba-tiba Evan membisu dan tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.

"Stefani ..." Hanya memanggil namanya saja tiba-tiba bahu sang Ibu sudah bergetar. Tak kuat melanjutkan kalimat, tangan yang kurus itu menutupi matanya. Kedua laki-laki itu langsung melirik satu sama lain bak sedang mengirim telepati. Memang mereka tak bisa bertelepati, tapi mereka memikirkan satu hal yang sama.

Jangan bilang Stefani memiliki sebuah penyakit misterius yang sangat parah? Makanya sang Ibu begitu ketakutan seperti sekarang? 

"Dia enggak kenapa-kenapa, kan?" Sekarang Evan sudah mau membuka suara sebab terlalu khawatir dengan kondisi sang gadis saat ini.

Alih-alih menjawab iya atau tidak, justru sang Ibu memberikan jawaban yang sangat membingungkan. "Saya juga enggak tahu...."

"Enggak tahu?"

Dan, tumpahlah air mata sang Ibu untuk ke sekian kali. "Sejak minggu lalu, Stefani tiba-tiba menghilang. Dia enggak kasih kabar. Ponselnya enggak aktif. Sama sekali tidak bisa dilacak. Saat saya bertanya kepada pihak sekolah dan mengecek CCTV, tidak ada petunjuk kenapa dia menghilang. Jadi ... sekolah menolak membantu karena ... karena...."

Padahal suaranya tersendat-sendat, tapi dengan sekuat hati sang Ibu menjelaskan. Siapa tahu kedua remaja di hadapannya dapat membantu meski tidak seberapa.

"Ibu sudah lapor polisi?"

"Sudah. Tapi mereka bilang laporannya masih di antrian."

Tangan Vino diam-diam mengepal. Otaknya memproses kemungkinan apa saja yang terjadi pada Stefani. Masalahnya, gadis itu menghilang setelah istirahat ke dua. Stefani bukan tipe gadis yang diam-diam menyelinap keluar karena bosan di kelas, malah dia tidak memiliki satu catatan poin pelanggaran peraturan sekolah sama mungkin. Jadi, ada seseorang yang pastinya memaksa dia untuk pergi dari lingkungan sekolah selama jam pelajaran.

Bisa jadi sang pelaku melakukan di titik buta CCTV sehingga membuat sekolah enggan mengaku terjadi penculikan di lingkungan sekolah mereka.

Drrrt!! Drrrt!

Ponsel Evan bergetar. Awalnya dicuekin, tapi karena bergetar berkali-kali, dengan kesal dia menjawab. "Siapa, sih, yang telepon gue terus?!"

Tidak ada nama yang tertera di kontak itu. Jadi Evan ragu jika itu adalah seseorang yang mengenalnya. Dengan ogah-ogahan dia menjawab dan mendapatkan sebuah suara yang berbicara, "Lo sudah celakain kakak gue. Sekarang giliran gue yang celakain cewek lo."

Tidak kenal waktu, tidak kenal tempat, tidak kenal orang, terdengar umpatan, "ANJING LO!" dari ... siapa lagi kalau bukan Evan?

"BANGSAT. DI MANA LO SEKAP STEFANI?!"

Ibu Stefani terkejut dan langsung berteriak histeris. Vino sampai harus memegang sang Ibu dan berusaha menenangkan sebisa mungkin. Walaupun jantungnya sendiri tak berhenti berdisko.

"Sama seperti saat lo sekap kakak gue. Lo kira gue bakal kasih tahu lo?"

Tak henti-hentinya Evan mengumpat sampai Vino menegur karena merasa telinganya sudah terlalu banyak ternodai sumpah serapah. "Kalau gue berhasil nemuin lo, gue bunuh lo semua."

Sambungan telepon terputuskan. Saat Vino menjawab siapa yang mencuik Stefani, justru Evan menyuruh, "Mending lo enggak usah ikut-ikutan. Ini urusan gue sama geng sialan itu."

"Gue enggak peduli urusan lo sama geng sialan itu. Tapi, gue peduli sama Stefani!  Jadi, cepet lo bilang. Siapa dan di mana Stefani sekarang?"

[BERSAMBUNG]

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now