14. Penolakan

28 7 0
                                    

Setiap hari melihat sosok Arden yang sengaja menunggu untuk menagih hukuman, lama kelamaan Alexa merasa iritasi melihatnya. "Gue nggak bakal kabur ke mana-mana! Dibanding lo jadi patung, celoteh hal nggak penting, mending lo pulang aja, deh."

"Tapi gue nggak percaya sama lo," balas Arden menolak permintaan gadis itu. "Siapa yang tahu lo sudah selesai bersihin toilet cewek atau nggak?"

Ingin sekali Alexa menendang sesuatu sebagai pelampiasan kemarahan, namun alhasil dia hanya mempercepat gerakan tangan untuk mengepel lantai. "Heh."

"Kenapa lagi?"

"Gue suka sama Vino," ucapnya sebagai sebuah pernyataan yang tidak bisa diganggu gugat. "Dan, nggak bakal ada cowok lain yang bisa menggantikan Vino untuk gue."

"Lalu?" Kedua tangannya mulai terlipat sembari menyandarkan punggung di tembok. Wajahnya tampak pura-pura tidak mengerti. "Satu sekolah sudah tahu kalau lo suka Vino, termasuk gue."

"Maka dari itu, jangan sampai lo naksir gue." Arden terhenyak mendengar itu. Setelah terdiam sebentar, tiba-tiba lelaki itu terbatuk-batuk.

"Hah, lo bilang apa? Jangan sampai gue naksir lo? Nggak bakal, lah," elak si ketua OSIS. Alexa memerhatikan dengan wajah datar, telinganya sudah memerah. Bukankah itu sudah pasti bahwa Arden menyukainya?

Alexa memutar matanya malas  dan lanjut menyelesaikan tugasnya. "Dua puluh hari lagi. Setelah dua puluh hari berlalu, gue harap gue nggak ketemu lo lagi."

"Tunggu, tunggu." Untuk menghentikan perkataan gadis itu, Arden sampai masuk ke toilet cowok dan menggenggam pergelangan tangan Alexa. "Pertama, lo tahu gue suka lo dari mana? Bukankah itu pemikiran yang terlalu pede? Terus kedua, gimana bisa kita nggak ketemu lagi setelah masa hukuman lo selesai padahal kita satu sekolah?"

"Untuk jawaban pertama," Lemparan mata Alexa terkesan dingin. "Lo pikir sejak kelas sepuluh, gue nggak tahu gelagat lo yang suka cari perhatian? Dan, selama lo jadi ketua OSIS, lo selalu perhatiin gue, tegur gue pas melakukan ini itu. Gue berasa kayak burung di sangkar selama ini. Jawaban kedua, gue nggak mau tahu. Pokoknya sehabis ini, saat lo lihat gue, lo harus berbalik. Usahakan kita nggak papasan lagi. Muak gue lihat wajah lo terus."

Setelah mengatakan jawaban tersebut, Alexa mengibas tangannya dengan kasar hingga genggaman tangan Arden terlepas. Hal itu meninggalkan tanda merah di  pergelangan tangannya. Biasanya Alexa paling tidak suka digitukan dan akan mengaduh kesakitan. Akan tetapi untuk kali ini, gadis itu tetap diam dan menatapnya dengan berani.

Itu penolakan yang sangat keras, ya?

Padahal Arden tidak pernah mengucapkan apapun, namun ternyata Alexa sudah bisa merasakannya dan segera memberi afirmasi agar dirinya tidak macam-macam. Akan tetapi, setelah diberitahu seperti itu, Arden tetap berada di sana. Ekspresi wajahnya yang awalnya terhenyak kembali menjadi biasa dan kaku. "Hari ini lo pulang sama gue."

"Cowok gila. Gue nggak suka lo, jadi gue ogah pulang bareng lo. Lagian supir gue bakal segera datang, kok." Setelah hukumannya selesai, entah sungguhan bersih atau tidak, Alexa buru-buru mengambil tas dan menuju depan sekolah. Di sana memang sudah ada supirnya. Namun lagi-lagi Arden menghalanginya. "Lepasin, nggak?!"

"Lo—"

"LEPASIN!" teriaknya kencang. "GUE PALING NGGAK SUKA ORANG LAIN NYENTUH GUE SEMBARANGAN!"

Setelah diteriaki seperti itu, Arden tetap belum melepasnya. Kali ini cengkramannya semakin menguat. "Lo pulang sama gue."

Di saat seperti ini, otak Alexa seperti memberitahu kewaspadaan. Sosok Arden yang memaksa seperti ini mulai membuat ketakutan. "Den, lepasin gue, Den. SIAPAPUN TOLONG GUE, WOI!"

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon