06. Tidak Akan Menyerah

45 7 0
                                    

Selesai mempercantik diri di toilet, Alexa beserta kedua temannya keluar. Di saat bersamaan Vino hendak masuk ke toilet laki-laki yang berseberangan dengan toilet perempuan. Akan tetapi, belum juga kakinya masuk, Alexa sudah mencegatnya duluan. "Vin! Parfum baruku enak, nggak?"

Lelaki itu hanya bisa mendesah malas. Ia dicegat hanya untuk ditanya bau parfum barunya enak atau tidak? Apakah dirinya terlihat peduli untuk menjawab pertanyaan tidak penting itu? "Nggak enak," jawabnya cepat sebelum masuk ke dalam toilet, membiarkan Alexa berubah masam karena malu.

"Ih! Masa nggak enak, sih?" tanya Alexa pada kedua temannya. Akan tetapi jawaban mereka berdua tetap sama, "Enak, kok."

Mereka bertiga kembali ke kelas dan mendapati Stefani sudah duduk di bangkunya dengan wajah enteng dan seragam yang sudah kering tanpa bekas. Alexa memutar matanya malas sebelum mulai bersikap sombong dan mendekati gadis itu. "Heh, dari tadi lo di mana?"

"Apa pedulimu?" balas Stefani, mengacuhkan pertanyaan yang ia rasa tidak perlu dijawab.

Brak! Mejanya digebrak sedemikian kerasnya oleh telapan tangan Alexa sampai memerah dan cap tangan tercetak jelas di mejanya. "Gue nggak suka kalau seseorang nggak jawab pertanyaan gue dengan benar. Jadi, jawab gue."

Gadis itu mencoba memberikan tatapan mengintimidasi pada Stefani, merasa bahwa gadis itu akan menurut seperti dulu ketika ia bertingkah lebih serius dan mendominasi.

"UKS," jawab Stefani akhirnya. Ia malas kalau Alexa harus berlama-lama di tempatnya hanya untuk menagih jawaban.

UKS? Oke, itu sebuah jawaban yang tidak terduga. Masih penasaran, gadis berambut lurus cokelat pirang bertanya lagi. "Gimana caranya seragam lo kering dalam waktu singkat?"

"Pinjam seragam dari admin." Bagaimana? Apakah jawabannya sudah memuaskan gadis itu?

Sikap Stefani masih sama cueknya meski sedang menjawab pertanyaannya. Semakin lama Alexa melihat wajah itu, semakin kesal ia. Berakhir kaki kanannya sengaja menginjak keras lantai sebelum kembali ke bangkunya.

Baru saja gadis itu mendudukkan diri di atas kursi, Vino sudah keluar dengan seragamnya. Cepat-cepat Alexa menghampiri dan merangkulkan tangannya dengan milik lelaki itu. Tidak lupa bibirnya dibuat mengerucut agar terlihat ngambek menggemaskan. "Vin, tadi masa aku digebrak sama cewek rendahan itu."

Astaga, bicara apa sih? Stefani hanya bisa menggeleng kepalanya. Bagaimana bisa ada manusia tidak tahu diri dan suka memutar fakta ketika banyak saksi yang melihatnya?

Tapi sepertinya ia bisa paham, ini bukan dunia nyata. Melainkan dunia Wattpad. Jadi karakter tidak jelas semacam Alexa adalah hal yang umum ditemukan oleh antagonis yang sangat jahat.

Apakah lelaki berhawa dingin itu akan menuduhnya karena aduan tersebut? Hoho, boro-boro menuduh, peduli dengan Alexa saja tidak. Setelah berdiam sesaat dan melepaskan tangan kirinya yang dirangkul dalam sekali tebasan, lelaki itu kembali duduk di kursinya tanpa banyak bicara. Stefani hanya bisa menggeleng-geleng sembari menyeringai kecil. Puas dengan apa yang didapatkan gadis itu.

Alexa berdecak sebal melihat tingkah laku Vino yang tidak kunjung luluh padanya. "Vin! Gue nggak bakal nyerah buat dapetin lo!" ucapnya dengan lantang meski mereka berada di kelas yang sama.

Dengan kepercayaan diri yang mulai terkikis, Alexa tetap berdiri di pilihannya. Sejak kali pertama melihat Vino, ia sudah yakin bahwa dirinya bisa mendapatkan lelaki itu. Meski tidak mudah dan sering kali dibuat sakit hati dengan perlakuan lelaki itu, ia tidak akan menyerah. "Awas aja kalau lo sampai jatuh cinta sama gue."

Akhirnya lelaki dingin itu merasa risih. Ia memutar bola matanya malas sebelum matanya membuat kontak dengan mata Alexa. "Berisik. Bisa nggak sih ngomongnya biasa aja?"

Woah! Akhirnya Stefani bisa mendengar lelaki itu berbicara satu kalimat penuh! Terkesima dengan suara berat yang dimiliki, Stefani menoleh ke arahnya. Di hari pertama hingga waktu sebelum saat ini, lelaki itu hanya berbicara sepatah kata saja.

Puas dengan respon yang didapat, seringai Alexa semakin melebar. "Makanya jangan sok dingin gitu sama gue, Vin."

Vino mengeluarkan desahan nafas yang berat. Astaga, kenapa dia harus sekelas dengan Alexa lagi di kelas sebelas? Kenapa dia tidak bisa belajar dengan nyaman di kelas? Gadis itu terlalu mengejarnya secara terang-terangan.

Dia ingin agar pengejaran itu berhenti. Maka, dengan suara yang sama lantangnya, Vino bertanya. "Apa yang harus gue lakukan biar lo berhenti?"

Akhirnya lelaki itu mau menyerah pada dirinya, ya? Tanya Alexa pada dirinya sendiri. Gadis itu mulai berjalan mendekati meja Arvino. Seperti di drama korea khas siswa sekolah, saat berada di meja target, Alexa meletakkan satu tangan di atas meja dan mendekatkan kepala mereka agar pembicaraan mereka bisa terasa lebih intens. "Ketika lo pacaran sama gue, atau...."

Kalimat itu sengaja dijeda, membuat satu kelas menjadi penasaran. 

"Atau lo pacaran sama orang lain." Alexa cepat mendengus dengan mata meremehkan. "Tapi gue tahu, lo nggak akan mau pacaran dengan sembarang orang, kan?"

Astaga, Stefani benar-benar kasihan dengan Alexa. Kenapa gadis itu mengatakan hal seperti itu? Apakah dia tidak bisa melihat tekad kuat yang mulai membara lelaki berhawa dingin itu? Apapun yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin ketika seseorang telah bertekad. Termasuk Alvino.

Alexa tidak tahu apa yang ada di depannya saat ini.

*****

"By, kamu masih marah, ya?" tanya Evan dengan nyali menciut ketika melihat wajah sebal pacarnya. "Tadi kan kamu bilang sudah maafin aku atas tawuran kemarin...."

"Tapi bukan berarti kamu bisa ngajak mereka tawuran lagi, Van! Mentang-mentang aku maafin kelakuanmu kali ini, kamu mau melakukan hal yang sama dan bakal berpikir aku akan melakukan hal yang sama? Jelas itu namanya kamu cari mati!" seru Adel kesal. Dia tidak habis pikir kenapa pacarnya suka sekali dengan segala hal yang berbau 'mencari keributan'. Padahal dirinya sendiri adalah anak yang belum pernah melanggar satu peraturan pun.

Jujur saja, memang seperti itu jalan pikiran Evan. "Padahal aku nggak kasih tahu kamu, tapi kok kamu bisa tahu sih, By?"

"Jelas lah aku tahu, kan Rian yang cerita ke aku!"

Duh, Rian sialan! "Lain kali gak bakal gue ajak tuh anak lagi," gumam Evan sebal. Akan tetapi Adel bisa mendengarnya dan menepuk keras punggungnya.

"Heh! Sekali-sekali nurut, dong! Aku tuh capek tiap kali dapat omelan guru gara-gara tingkah kamu. Padahal kamu yang bertingkah, aku yang diceramahin." Pacarnya sedang mengatakan hal yang jujur. "Sejak aku pacaran sama kamu, rasanya yang kudapatin cuma pandangan remeh orang. Aku kira kalau kita pacaran, kamu bisa berubah demi aku. Tapi ternyata sama saja."

Tunggu, firasat Evan kok sepertinya buruk, ya?

"Sekali lagi kamu ketahuan tawuran, kita putus," ucap Adel final, tidak terbantahkan sama sekali. Evan hanya bisa menatap nanar punggung gadis pacarnya yang menjauh.

Masalahnya, urusannya dengan anak sekolah tetangga belum selesai. Tidak mungkin ia melakukan perdamaian padahal masih ada dendam yang belum terselesaikan. "Maaf, Del. Tapi ini misi yang penting...."

[BERSAMBUNG]

Catatan Penulis :

Btw, aku baru ingat kalau karakter sebelahku namanya Arvino, wkwk. Jadi bingung nama si cowok dingin ini Arvino atau Alvino (。•́︿•̀。)

Untung aja panggilannya dibuat jadi 'Vino' doang, jadi lebih mudah ingatnya.

Oh iya, status cerita saat ini adalah: Belum serius. Jadi aku masih belum tahu ini cerita akan dibawa ke mana. Cuma aja sudah ada beberapa gambaran di otak. Bagaimana dengan kalian? Apakah sejauh ini ceritanya masih nyaman untuk dibaca? 

Terus bagaimana pedapat kalian mengenai karakter Alexa sejauh ini? Siapa tahu kalian ada penilaian dan gambaran cerita tersendiri untuk sang antagonis, wkwk

Seperti biasa, kalau suka silahkan vote. Kalau tidak suka, tolong jangan diekspresikan sebagai hinaan. Terima kasih dan sampai bertemu di bab selanjutnya!

(・_・;)

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang