19. Bimbang

25 7 0
                                    

Di pinggir trotoar, ada seseorang berjaket kulit hitam dengan helm di sampingnya yang sedang menunduk. Entah memikirkan apa, tetapi dahinya mengernyit keras seakan ada banyak hal yang sedang dipertimbangkan.

"Lo kenapa, sih?" tanya salah seorang teman yang menghampirinya.

Evan mengangkat kepala dan menggeleng cepat. "Nggak apa-apa."

"Ya sudah, buruan ke sana, deh. Sudah ada yang datang, tuh. Masa lo terus-terusan diam di sini? Tamunya harus disambut, dong!" Tangannya terjulur untuk mengajak Evan berdiri. Akan tetapi kaki Evan terasa kaku, tidak mau bergerak sama sekali. "Heh!"

"Gue nggak jadi ikut, deh." Keputusan itu terlalu mendadak sampai temannya tercengang. Apa katanya? Tidak jadi ikut?

"Lo serius? Tapi lawan kita—"

"Gue mau berubah."

Temannya langsung tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan konyol tersebut. Bagaimana bisa seorang Evander bisa mengatakan hal segila itu? "Lo ini kenapa, dah? Kok tiba-tiba alim begini? Perasaan Adel sudah nggak jadi pacar lo, tapi kenapa lo tetap nggak mau ikutan? Ayolah! Bosenin banget kalau lo jadi orang baik."

Lelaki itu berdiri dan berlalu begitu saja, mengacuhkan ejekan sang teman.

Setelah berbincang dengan Stefani, ia merasa ada hal yang aneh. Perasaan aneh ini terasa seperti berasal dan kembali ke diri sendiri. Bukankah aneh jika secara tiba-tiba dia tidak berminat dengan balapan? Apakah ini efek dari perjanjiannya dengan gadis itu?

Ini hal bagus, kan?

Ponsel di dalam kantong dirogoh dan ia mulai menekan kontak Anna. Lalu ia ketik sebuah pesan dan terkirim. Setelahnya, dia mendekati motor dan menyalakan untuk pulang ke rumahnya.

Evan : Gue nggak jadi balapan.

Di tempatnya, Stefani sedang menikmati tontonan drama sembari memakan camilan kecil. Karena ia menonton drama melalui ponsel, notifikasi pesan Evan otomatis masuk. Salah satu alisnya naik dan ia hentikan video tersebut untuk membalas pesan lelaki tersebut.

"Hm...." gumamnya sambil mengangguk dan membalas singkat sebelum kembali melanjutkan tontonan.

Stefani : Bagus.

*****

"Lo ... kenapa bohong ke gue?"

"Memangnya ada keharusan buat gue terus jujur ke lo?"

Nafasnya tertahan, lehernya tiba-tiba terasa seperti tercekik. Padahal itu hal remeh, tetapi kenapa dia merasa sakit hati atas itu? "Gue kira...."

Kalimat yang hendak keluar hanya bisa tertahan di ujung lidah tanpa terucap. Pada akhirnya langkah kakinya menjauh dari orang yang selama ini ia anggap sebagai teman terdekatnya. Namun, di akhir ia tetap dikecewakan.

Setelah itu, semua bayangannya mendadak menghitam. Di saat itu juga kesadarannya kembali. Saat ia membuka mata, hanya ada atap kamar yang tampak. Rupanya mimpi itu lagi.

Vino beranjak bangun dan terduduk di pinggir ranjang. Tidak ada kata-kata yang keluar meski kedua tangannya sudah saling berkaitan dengan erat. Sejak kejadian saat itu, dunianya benar-benar terasa sepi. Tidak ada yang bisa diandalkan sama sekali.

Bahkan orang yang ia anggap dekat pun berakhir meninggalkannya dengan alasan sepele. Sialnya, kesepian itu terasa di tengkuknya tapi tidak mau ia akui keberadaannya. Meski lama kelamaan terasa seperti mencekik lehernya.

Tidak lama alarmnya berbunyi. Lagi-lagi ia terbangun sebelum alarmnya mengeluarkan suara bising. Dengan gegas ia berdiri untuk mencuci muka dan mempersiapkan diri untuk ke sekolah.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now