13. Momen Lainnya

28 6 0
                                    

"Buset, Bro. Sampai segitunya lo minta suruhan Alexa jadi teman curhat lo?" tanya seorang kawan Evan, namanya Varrel. "Padahal kita di sini sudah siap telinga kapan saja buat lo."

Kalimat itu langsung disetujui oleh yang lain. Evan memutar mata jengah. "Kalau gue cerita ke lo semua, yang ada malah ember!"

Mana bisa Evan percaya jika teman-temannya dekat dengan Adel? Semua hal yang diceritakan oleh Evan pasti selalu akan sampai di telinga gadis itu. Jelas pelakunya adalah teman-temannya sendiri. Dia sudah sampai di level tidak percaya dengan teman sendiri. "Kalau gue cerita ke Stefani, gue yakin cewek itu nggak bakal cerita ke siapa-siapa. Kalian juga nggak bakal bisa tagih cerita ke dia."

"Idih, segitu nggak percayanya sama kita?"

"Iya," jawabnya tanpa banyak basa-basi. Sekarang pun dia yakin bahwa kejadian tadi sudah didengar oleh Adel. Apapun yang dilakukan oleh Evan pasti diketahui oleh gadis itu dan hal tersebut tidak akan berubah.

Kecuali rasa perhatiannya Adel. Jika dulu, setiap kali ada berita tidak mengenakkan, gadis itu mendatanginya dan memberikan segala jenis nasehat. Tapi sekarang gadis itu akan memalingkan mukanya dari dirinya.

"Eh, tapi gue rasa ada gajah di balik batu. Dari sekian banyaknya cewek yang ada di kantin, kenapa lo ngajak ngobrol suruhannya Alexa?" Omong-omong, karena mereka malas mengingat nama Stefani dan gadis itu sendiri dikenal sebagai korban bully Alexa, semuanya mengingat sebagai 'Suruhan Alexa'.

Mereka kembali penasaran dengan kelakuan Evan. Siapa tahu memang ada sesuatu di baliknya. "Jangan bilang lo naksir cewek itu?!"

"Ngaco! Gue aja belum bisa lupain Adel, gimana mau naksir cewek lain, hah?!" Sanggahan itu membuat semua orang di kelas diam. Kelihatannya Evan memang sungguhan mengenaskan kali ini.

"Tapi," Varrel tetap kekeh dengan opini pribadinya. "Pas kita tawuran dan cewek itu jadi korban tawuran, lo yang bopong dia sampai rumahnya. Terus pas kita lagi basket, cewek itu sembunyi di balik lo saat Alexa mau hajar dia. Dan, lo sendiri sampai nganterin dia pulang! Sekarang lo ngajak ngobrol dia tanpa diajak. Kenapa lo ngelakuin hal itu?"

Kalau dipikir-pikir, itu agak masuk akal. Benar juga, kenapa dirinya melakukan itu? Evan menggerakkan bola mata ke sana sini untuk mencari benang merahnya.

"Yang pertama," ujarnya setelah mendapatkan ide, "Pas tawuran, gue angkat dia karena rasa keperimanusiaan gue. Kedua, gue juga kasihan pas dia mau dihajar Alexa. Stefani sudah kelihatan ketakutan, masa gue diem aja?"

Padahal biasanya Evan selalu bersikap bodo amat.

"Ketiga, itu ... karena ... karena...." Lelaki itu tampaknya kehabisan ide untuk mencari alasan. Alhasil tangannya mengacak rambut sendiri dan mendecak kesal. Kakinya juga bergerak rusuh sampai menendang kaki meja tanpa sengaja. "Duh! Gue juga nggak tahu! Pas lihat dia, entah kenapa gue jadi terdorong buat datang ke dia."

"Nah, kan!" Varrel menunjuk muka Evan dengan muka 'ketahuan lo!'. Yang lain pun mengangguk seakan mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Lo suka dia, kan?!"

"Nggak anjir! Sumpah, lo semua kampret banget." Sampai saat ini saja dia masih suka melamun kalau melihat foto Adel atau sekedar tidak sengaja mengingatnya.

Varrel dan yang lain terkekeh melihat sanggahan keras Evan. Mereka tampak tidak percaya dan menganggap apa yang mereka pikirkan benar adanya. "Eh, tapi malam ini lo datang, kan? Hari ini lawan kita anak Naga Hitam, lho!"

Geng motor Naga Hitam? Wajah Evan yang awalnya tidak suka berubah menjadi sinis, "Oh, mereka masih berani nantang kita?"

"Gue nggak nyangka mereka masih belum bubar, sih," celetuk Igor, seorang teman Evan lainnya.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang