27. Besok Lusa

22 6 0
                                    

Angin sepoi-sepoi segera menyambut bersamaan dengan pernyataan tersebut. Seakan turut mendukung suasana. Tidak lupa, orang-orang di sekitar juga sudah siap memasang telinga.

"Apa?" Itu bukan pertanyaan, melainkan keterkejutan yang dianggap Stefani sempat melewatkan kalimat tersebut.

"Aku suka kamu," ulang Vino sekali lagi. Sekarang suaranya lebih jelas, tegas, dan penuh keyakinan.

Sebenarnya Stefani sudah tahu, namun Vino menyatakan terlalu mendadak sampai gadis itu tak tahu harus berkata atau bereaksi seperti apa.

Mau tak mau, dia hanya bisa ber-oh ria. "Thank you."

Aduh, kenapa supirnya belum datang, sih? Biasanya sang supir tidak akan datang seterlambat ini.

Kedua kelopak mata Vino mengerjap beberapa kali. Apakah sikapnya sudah benar? Apakah memang biasanya pernyataan perasaan ditanggapi dengan ucapan terima kasih?

Sepertinya ada yang salah. "Aku suka kamu, Stef. Sejak kelas sepuluh. Jadi...."

Jadi apa?

Ah, sialan.

Vino bukan tipe cowok yang melakukan sesuatu secara gegabah. Dia selalu memperhitungkan semua tindakan dan ucapannya. Namun, untuk kali ini, tanpa berpikir panjang, dia menyatakan perasaan begitu saja.

Dan, sekarang Stefani sedang menatapnya dengan bingung dan canggung. Gadis itu-meski tetap cantik-menyingkirkan poni yang mengganggu wajahnya dan meneguk ludah.

"Maaf. Aku terlalu terburu-buru," putus Vino akhirnya. Dia tidak bisa membiarkan dirinya tampak seperti orang bodoh. "Aku pergi dulu. Dah."

Dengan gaya kikuk Vino berjalan mundur dan membalikkan badan. Sebisa mungkin dia mengatur wajah sedatar biasanya, tapi tak bisa. Kali ini dia terlalu malu.

Sedangkan Stefani ditinggal dengan murid-murid lain yang penasaran dengannya. Tak sedikit anak-anak yang mulai mengetik sesuatu di ponsel atau berbisik dengan temannya. "Gila! Ternyata Vino beneran suka Stefani! Pantes Alexa enggak suka dia."

Padahal Vino yang berbuat, kenapa dia harus turut menanggung malu? Seperti tak punya muka, selama menunggu sang supir, dia hanya bisa menundukkan kepala. Beruntung kemudian badan mobilnya mulai terlihat dan dia bisa kabur secepatnya dari sana.

Sejak kejadian itu, secepat virus menyebar, berita Vino menyatakan perasaan terang-terangan sudah diketahui semua murid di sekolah. Termasuk Arden dan Alexa.

Tentu akan ada orang-orang yang marah. Salah satunya, siapa lagi kalau bukan Alexa. "Munafik banget, sih! Sengaja nolak Vino buat panas-panasin gue, hah?!"

Kebetulan Arden sedang menjadi relawan yang bertugas mengawasi Alexa. "Katanya Vino pergi duluan sebelum Stefani jawab. Jadi, dia belum nolak."

"Ck!" Alexa berdecak keras. Sekaligus dia melemparkan gagang pel begitu saja. Namun, Arden langsung menegur agar gadis itu melanjutkan tugasnya.

"Lo enggak ada niatan deketin Stefani, gitu?"

Arden hanya bergumam tak jelas. Alexa mencibir kesal. Sekarang dia tak bisa menemui Stefani seleluasa dulu. Otomatis dia pun tak bisa menemui Vino di jam sekolah. Sambil memikirkan apa yang harus ia perbuat, manik-manik matanya terus melirik ke sang Ketua OSIS. "Den, lo kenapa, sih, enggak temenan lagi sama Vino? Padahal kalian kelas sepuluh dekat, kan."

"Mending lo lanjut kerjain tugas lo, deh."

"Ck! Gue penasaran tahu!" Akhirnya Alexa kembali memegang gagang pel dan memaju-mundurkan asal-asalan pel untuk membersihkan lantai. Tak lupa mulutnya terus bersungut-sungut sampai telinga laki-laki berseragam sekolah di sebelahnya merasa pengang.

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now