34. Bakar-Bakar

22 5 0
                                    

Tak pernah Vino membayangkan dirinya akan berada di sebuah basement bersama anak-anak yang lebih suka melanggar peraturan dibanding belajar di rumah. Semua ini demi Stefani. Berkali-kali ia mengafirmasi itu untuk tidak ragu datang ke sini atau memutuskan untuk pulang.

Sekarang Evan sedang mengecek satu per satu alat-alat untuk melaksanakan rencana mereka. "Bensin ... cukup. Korek api juga ada banyak. Alat pukul masih ada beberapa. Sisanya, hm ... Bisalah. Woi, Vin. Sini lo! Ngapain duduk bengong di pojokan?"

Evan sama sekali tak terlihat gentar saat berada dekat dengan benda-benda mudah terbakar atau berbahaya. Ya tentu saja tidak gentar, dia sudah pernah menggunakan berkali-kali. Bekas terbakar di siku yang sudah lewat dua tahun menjadi tanda bukti. Bahu Vino melemas, ia meneguk ludah berkali-kali sembari berjalan lambat bak siput menuju Evan. Laki-laki yang menunggu dibuat kesal sampai dia menghampiri Vino dan menyeretnya ke area bahan bakaran. "Duh, lama banget lo jalan. Lo enggak mau selamatin Stefani? Kalau lo enggak mau, mending lo mundur sekarang. Stefani juga enggak butuh cowok lelet kayak lo."

"Bukannya gitu." Vino berusaha mengelak. "Tapi, lo serius Stefani enggak ada di basement mereka? Gimana kalau misalnya mereka bisa nebak rencana lo dan sengaja sekap Stefani di sana dan bikin lo nyesel sendiri gara-gara—"

"Haish, diam aja lo," sela Evan sambil mengorek telinganya yang mendadak gatal. "Mau berapa kali lo bujuk gue buat ubah rencana, gue enggak bakal berubah." Tidak memedulikan wajah Vino yang memelas, justru Evan mengambil salah satu alat pemukul dan beberapa aksesoris untuk melindungi diri sendiri. "Sebisa mungkin lo di belakang aja. Gue enggak yakin lo bisa bela diri dan berani lawan mereka."

Sebenarnya Evan salah. Vino bisa dan dia sudah punya sabuk tak sembarang warna di salah satu jenis bela diri. Tapi, namanya juga untuk membela diri, dia melatih gerakan bukan untuk menyerang orang hingga sekarat, tapi hanya untuk pembelaan.

Hanya saja, lagi-lagi mulutnya bergumam, "Demi Stefani."

"Ya, betul itu. Demi Stefani," sahut Evan sebelum berbalik badan dan pergi meninggalkan Vino sendirian. Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Namun selayaknya dongeng lama, mereka akan membakar basement Naga Hitam seakan matahari sudah memunculkan dirinya.

Waktunya bakar-bakar akan segera tiba.

*****

Waktu memang menunjukkan jam empat pagi, wajar jika tidak ada seorang pun berjaga-jaga di basement mereka. Sedangkan geng yang Evan pimpin sudah berada di posisinya. Termasuk Vino yang akhirnya Evan putuskan ada dekat di sisinya—dia tidak mau anak orang kenapa-kenapa karena sok-sokan mau mengikutinya.

"Riz, lo bisa mulai sekarang," bisik Evan sembari mendekatkan alat komunikasinya. Nama yang dipanggil segera mengajak kelompoknya melakukan tugas. Mudah ditebak, Evan membagi anak-anak gengnya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh orang yang bernama Rizal. Mereka akan mulai menyebarkan bensin di sekitar basement Naga Hitam. Kemudian sebelum kelompok kedua melaksanakan tugasnya, kelompok satu dan tiga—kelompok terakhir dipimpin Evan sendiri—akan berkumpul dan memaksa masuk ke basement. Siapapun yang berada di dalam basement Naga Hitam akan mereka buat celaka. Dan, semua barang di dalamnya akan diacak-acak. Ketika sudah waktunya, Evan akan menyuruh semua anggotanya keluar dari basement dan membiarkan kelompok ketiga mulai menyalakan korek api.

Tidak ada balasan apapun dari Rizal selain kata, "Siap." Selain itu, dalam keheningan Evan juga bisa mendengar langkah-langkah kaki anggotanya yang berusaha jalan sesenyap mungkin. Sesudahnya, dia juga mendengar suara guyuran bensin dan bau khas yang mengikuti.

"Oke, seharusnya sebentar lagi kelompok satu kasih kabar," gumam Evan entah berbicara kepada siapa. Vino sendiri sedang sibuk menenangkan hati. Gimana ini, tangannya bergetar hebat saat mencengkram alat pemukul. 

Dalam hati Evan mulai menghitung mundur sambil melihat waktu di jam tangan. Seharusnya sudah waktunya untuk Rizal memberi kabar. Tapi kenapa masih belum terdengar apa-apa juga?

Brak! Suara keras langsung memecahkan keheningan dan disusul teriakan, "CARI SEMUANYA! PASTI MEREKA LAGI SEMBUNYI DI SINI!"

"Anjing," pisuh Evan. Gila. Kelompok pertamanya langsung gagal total. Ia duga Naga Hitam sudah memperkirakan rencananya. Tidak ada lagi cara, dia langsung mengeluarkan diri dari persembunyian. Vino sempat menahan lengannya. "Lo mau ngapain?!"

"Ya, keluarlah! Kita sudah ketahuan ini! Mau enggak mau, kita harus perang. Candra," panggil Evan tiba-tiba. Rupanya alat komunikasinya terhubung ke orang lain. "Kelompok lo tetap diam di tempat. Gue yakin setidaknya kelompok Rizal berhasil buang isi bensinnya. Jam setengah lima, apapun kondisinya, bakar basement-nya."

"Lo ... serius mau ngelanjutin?"

"Iya. Biar mereka tahu mereka enggak bisa bikin gue takut."

"Berarti lo cuma punya waktu kurang dari setengah jam. Lo yakin?"

Tidak ada penyesalan, hanya ada ketegasan seorang pemimpin. "Yakin."

Tak lupa tangannya melambai pada beberapa arah untuk memberikan tanda. Tidak lama, semua anggota yang bersembunyi akhirnya keluar dan berjalan di belakang Evan selayaknya film End Game di Marvelious.

"Ayo, babat habis mereka!" Evan berlari memimpin dan mulai menonjok salah satu orang. Anak-anak lain juga melawan satu lawan satu dengan anak geng Naga Hitam.

Semua peralatan memukul ataupun tangan saling beradu pukul menunjukkan kemampuan. Tidak peduli kini darah mulai mengucur dari kepala atau lebam-lebam, mereka melanjutkan tawuran tersebut.

Dari pukulan lawan, Evan berhasil menahan dan membalikkan serangan. Setelah beberapa menit beradu kemampuan, akhirnya musuhnya tumbang. Secara cepat dia berganti menyerang ke anggota lain rivalnya.

Tawuran terjadi sangat sengit dan sangat berantakan, kurang lebih seperti itulah yang Vino lihat di depan mata. Ketika semua orang sudah menunjukkan batang hidung, hanya dia yang masih di tempatnya. Badannya kaku, sama sekali tak bisa bergerak.

Namun, inderanya merasakan seseorang hendak menyerangnya.

Dengan kemampuan bela diri yang tinggi, mudah bagi Vino untuk langsung menghindari serangan. Saat ia berbalik, ia sadar bahwa mau tak mau dia harus turut serta dalam perlawanan. Ketika orang-entah-datang-dari-mana hendak menyerang lagi, tangan Vino berhasil mencegat dan langsung mengambrukkan badan lawan ke tanah. Ambrukan yang cukup keras sampai-sampai ia meringis sendiri mendengar suara patah tulang. "Harusnya lo enggak ganggu gue," ujar Vino mengintimidasi.

Sesudahnya ia mengedarkan pandangan. Semua orang sudah disibukkan pada perkelahian besar. Jika dia bisa diam-diam menyelinap masuk ke basement Naga Hitam, maka dia bisa memastikan Stefani sungguh-sungguh tidak ada di sana.

"Benar juga," sahutnya sendiri. Dia tidak bisa diam-diam seperti ini, tapi sebisa mungkin tidak ikut berkelahi. Sesudah ekor matanya berhasil melihat jalan tikus, Vino segera pergi dari tempatnya. Meninggalkan lawan meringkih kesakitan begitu saja.

Baru saja kakinya menginjak tanah dari jalan alternatif lainnya, Vino merasakan ponselnya bergetar di balik saku jaket. "Duh, siapa sih?"

Sebelum mengecek pesan yang baru saja masuk, Vino sadari jam sudah menunjukkan angka 4:26.

Melihat nama kontak yang mengirimnya pesan, Vino menaikkan salah satu alis.

Vin, Stefani ada di Arum Putih Indah tujuh no 45.

Sontak cowok itu mengumpat. Ternyata Stefani sungguhan ada di dalam rumah itu. Dan, sekarang dia sudah bisa mencium bau terbakar dari basement tersebut.

[BERSAMBUNG]

Catatan Penulis:
Basement yang dimaksud adalah homebase, ya. Maaf, pas nulis juga agak bingung untuk pengambilan kata untuk sarang rumah geng2an ini. Jadi dipakai basement padahal basement itu tempat di bawah tanah seharusnya. Sebelum masuk masa edit, kujelaskan dulu di sini, ya (●´⌓'●)

Omong-omong cerita ini akan segera selesai! (~‾▿‾)~

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now