19. Hujan Kemarin Sore

69.5K 7.6K 570
                                    

Pagi yang kurang cerah, kurang terang untuk bisa merasakan panasnya matahari. Kota Jakarta diselimuti mendung dan diguyur hujan sejak beberapa hari terakhir.

Sepertinya musim penghujan sudah tiba, pertanda baik bagi mereka yang sering menghabiskan waktu di dalam rumah dan bergulung di bawah selimut, semakin nikmat jika ditemani makanan hangat.

Tapi merupakan pertanda buruk bagi mereka yang sedang perlu menghabiskan waktu untuk bekerja. Pulang dan pergi di bawah derasnya hujan.

“Males banget gue sialan, masa tadi abang ojeknya ga liat ada genangan air sih! Nih, nih, sepatu gue becek!”

Begitulah ocehan Pinkan sejak tadi perihal kekesalannya terhadap driver ojek online yang ia dapat pagi tadi.

“Lepas gih, Pin. Bau lo pake terus nanti.” Usul Lintang.

Untungnya di bawah lemari di sudut ruangan, ada dua pasang sandal jepit tanpa brand yang sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya. Biasa dipakai oleh para wanita di ruangan ini pada saat-saat seperti ini.

“Makanya minta dianter pacar, dong. Kayak gue.”

Pinkan menyorot ke arah Sarah dengan tatapan siap menerkam. Sudah jelas tahu bahwa Pinkan baru saja putus cinta, tapi Sarah malah membuat susasana semakin runyam.

“Bilang apa tadi? Coba bilang lagi? Biar sekalian gue rontokin gigi lo.”

Pinkan melepas sepatunya, mengangkat sepatu pantofelnya yang basah, siap melemparkan ke meja Sarah. Tapi sayangnya mereka semua dikejutkan dengan terbukanya pintu di depan sana, menampilkan sosok Dirga yang tampan, kancing kemejanya di lepas sebanyak dua buah di bagian atas, lengan kemeja putih itu digulung sampai siku, tanpa dasi dan tanpa jas.

Membuat Pinkan panik dan segera menurunkan sepatunya, berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun.

“Selamat pagi, pak.”

Mereka berdiri dan menunduk sekilas, menunggu Dirga untuk menyampaikan apakah kiranya alasan lelaki itu datang kemari. Karena jujur saja, Dirga memang tidak sering mendatangi divisi manapun, selalu melalui Farhan. Maka jika Dirga datang langsung, bisa jadi karena ada masalah dengan divisi yang bersangkutan.

Ah, mereka berharap mereka tidak berbuat kesalahan apapun sampai mengundang Tuan mereka ini datang.

“Reno sudah kerjakan yang saya minta semalam?”

Reno tampak kelabakan, ia membuka laci mejanya dan mengeluarkan map miliknya sembari mengangguk mantap. “Sudah selesai semua, pak.”

“Oke, kamu dan Andien ke ruangan saya sekarang.”

Mata Dirga menyusuri satu persatu orang di ruangan tersebut, Dimas hendak membuka suara, hendak menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Namun terlambat karena lelaki di ambang pintu itu sudah lebih dulu melempar pertanyaan.

“Dimana Andien?”

Dimas menarik nafas, “Andien lagi sakit, bang. Makanya hari ini gak bisa kerja.”

Dirga memiringkan kepalanya sedikit, menatap ke sumber suara, tidak lain adalah Dimas yang berdiri di samping mejanya, sebelah kanan di sudut kiri.

“Bicara dengan siapa kamu?”

Balasan Dirga membuat kelimanya menunduk, mereka mengutuk Dimas yang dengan mudahnya berbicara dengan tidak sopan pada Dirga di jam kerja seperti ini, bahkan Dimas sendiri ikut mengutuk dirinya.

Apalagi, jika dilihat dari wajah dan penampilannya, Dirga sedang tidak dalam kondisi yang bisa diajak berbicara santai.

“Ma-maaf, pak. Saya tidak bermaksud lancang.”

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang