43. Love Around You

45.8K 3K 146
                                    


Mendengar berita tentang apa yang dialami Andien malam itu, ayah dan ibu Dirga—Prama beserta Juita datang ke kediaman pribadi Dirga, walau menempuh jarak yang lumayan juga malam-malam seperti itu.

Atas permintaan Andien, mereka sepakat untuk tidak mengatakan dulu kepada kedua orang tua Andien perihal apa yang Andien alami walau awalnya Juita dan Prama sangat bersikeras hendak menyampaikan bahkan bersedia menghubungi keluarga Andien bila memang perlu.

"Kenapa Dir? Lebih baik dibilang ke orang tuanya, ini gak bisa dirahasiakan... mereka harus tau kalau Andien ini ada masalah, kasihan kalau disembunyikan, orang tua mana yang nggak sedih kalau ternyata anaknya kenapa-kenapa tadi merekanya nggak tau," tutur Prama yang duduk di seberang Dirga, berbatas oleh sebuah meja kaca. Ada Dimas dan Farhan di sisi kanan dan kirinya yang masih setia menemani.

"Udah Dirga sempet bicarain sama Andien, Pa. Tapi kami berdua sama-sama ingat, ayahnya Andien itu lagi dalam masa pengobatan rutin, ada sakit begitu. Jadi Andien khawatir kalau kita bilang ke keluarganya sekarang, nanti mereka malah panik, terutama ayahnya. Takut kenapa-kenapa," jawab Dirga dengan pelan, berusaha membuat ayah dan ibunya paham.

Prama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, seolah dia rasanya belum puas dengan alasan itu. "Jujur aja, Dir. Papa sebagai orang tua, walau anak-anak sudah sebesar ini, tetep aja papa khawatir seandainya terjadi sesuatu pada kalian tapi papa nggak tau dan gak bisa ada untuk anak-anak papa. Sedih rasanya."

Dirga mendengarkan dengan baik, dia berusaha membuka pikirannya dengan pendapat dari sudut pandang ayah dan ibunya sebagai sosok orang tua.

Dimas dan Farhan? Jangan ditanya lagi. Mereka agaknya sedikit bingung kenapa mereka berdua bisa harus ikut di tengah-tengah pembahasan keluarga ini.

"Suatu saat kamu menjadi ayah, pasti kamu bisa rasain apa yang papa papa maksudkan. Bisa bayangkan anak kamu berada dalam bahaya tapi kamu nggak tau dan nggak ada untuk anak kamu?" Kini Juita yang melebarkan artian dari ucapan suaminya tadi.

Kala ucapan itu terlontar, Dirga menunduk dan memejamkan matanya. Perkataan Prama sungguh membuat dirinya berada di ambang kebingungan dan kegelisahan. Hatinya seperti diremas kuat. Sekelebat bayangan seorang anak muncul di benaknya, keuarga yang bahagia, anak yang beranjak dewasa, masalah yang mulai mendatangi anaknya, dirinya yang tidak bisa selalu siap sedia untuk sang anak. Astaga, semuanya terasa seolah-olah nyata. Dan ia merasakan rasa sakit itu.

Tapi lagi, ia tidak boleh gegabah juga dalam situasi ini. Andien sendiri yang memintanya untuk tidak memberitahu keluarganya sementara, dan ia tidak mungkin mengabaikan permintaan Andien itu.

"Pasti nanti Dirga bantu hubungi orang tuanya, pa. Tapi sekarang tolong ikutin maunya Andien dulu. Dia yang punya hak lebih."

"Bener juga kata Dirga, pa. Mungkin Andien perlu waktu dulu, kasian juga dia pasti masih shock. Biar nanti mereka berdua yang bicarain lebih lanjut," ucap Juita, mengusap pundak suaminya.

Prama mengangguk. Akhirnya setelah perbincangan yang cukup panjang dan penuh pertimbangan itu dapat diakhiri juga dengan tenang.

"Andien jadi tanggung jawab kamu ya, Dir. Pokoknya nanti jangan sampe keulang lagi, inget juga pikirin keluarganya yang jauh di Jogja, inget dia masih punya keluarga."

Nasehat ayahnya dengan cepat Dirga balas anggukan pelan. "Udah malem, kalian pulang dulu. Kalau mau ketemu Andien, besok sore."

Hari sudah sangat larut, dan usia kedua orang tuanya sudah tidak baik untuk dibiarkan terjaga sampai selarut ini. Ditambah juga, Dimas dan Farhan pasti sudah mengantuk dan mereka besok tetap harus bekerja pagi-pagi di kantor.

"Iya papa sama mama balik dulu, nanti kalau ada gimana-gimana yang cepet hubungi papa." Dirga mengangguk. Ia berdiri dan mengantar ayah ibunya ke depan, sang supir sudah menunggu disana.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang