36. Welcome to Jogja

60.9K 6.8K 575
                                    

Sudah satu jam lamanya Andien dan Dirga tiba di Jogja, kota kelahiran Andien. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil milik Dirga.

Bingung bukan, kenapa bisa ada mobil milik Dirga juga?

Menurut jawaban lelaki itu tadi, ia memiliki kerabat dekat di kota ini yang siap sedia memberikan mobilnya untuk digunakan oleh Dirga selama ia berada di sana. Sesungguhnya secara teknis itu bukan mobil milik Dirga, tetapi ternyata mobil itu dulunya memang milik Dirga yang dipinjamkan kepada kerabatnya itu dan tidak pernah Dirga minta untuk dikembalikan.

Gaya hidup orang kaya. Mungkin Andien perlu terbiasa untuk terkejut.

Mereka sedang menuju pusat perbelanjaan, yang menurut Andien sangat lengkap. Saat di Jakarta, ia tidak sempat berbelanja apapun untuk dibawa ke Jogja karena mereka bahkan hampir tertinggal pesawat. Salahkan Dirga yang terlambat menjemput Andien.

“Papa kamu senang dengan apa? Biar saya belikan.” Dirga memutar stir ke kiri, tibalah mereka di halaman parkir pusat perbelanjaan yang luas.

Andien menoleh, menahan senyumannya sekuat tenaga. Debaran jantungnya sudah tidak karuan, tidak pernah membayangkan hari-hari seperti ini akan tiba. Dimana seorang laki-laki nampak begitu siap untuk mengikat dirinya, menjalin hubungan baik dengan keluarganya, dan tidak ada keraguan yang terpancar sedikitpun di wajah lelaki itu sejak awal bertekad ikut bersama Andien.

Kalau Andien belum mengenal Dirga, mungkin dia akan tertawa pada siapapun yang menceritakan kisah seperti yang sedang ia alami. Dongeng saja tidak selalu indah, apa lagi kisah nyata di masa modern ini.

“Papa Andien suka kerupuk, mas. Jangan dibeliin barang macem-macem, dia gak suka bikin orang repot. Tapi kalau dikasih kerupuk, dia suka. Nggak bisa makan kalau gak ada kerupuk,” tutur Andien dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.

Ia kembali teringat papanya. Benar-benar ingin menangis, namun ia menahan diri agar tidak terlihat menyedihkan di depan Dirga. Lagi pula, sebentar lagi ia akan bertemu papa dan mamanya, juga kedua kakaknya.

Dan, oh. Andien tidak mengatakan kalau ia datang hari ini, itulah sebabnya ia tidak dijemput ke bandara. Ia sengaja mengatakan bahwa ia datang besok, agar bisa membuat keluarganya terkejut. Ditambah lagi... Dia membawa Dirga.

Untuk poin terakhir itu, jujur Andien masih sangat pusing, bingung, dan panik. Ia harus mengenalkan Dirga sebagai siapa nantinya?

“Kerupuk? Itu saja? Kamu yakin?” Untuk pertama kalinya Dirga menempatkan pertanyaan bertubi-tubi dalam satu kali bicara.

Andien mengangguk. “Papa Andien itu gak bisa dibaca, tau. Jadi jangan kaget nanti.”

Mereka memasuki pusat perbelanjaan dan Andien sudah mendorong troli menuju lorong rak-rak terdekat.

“Tentu. Papa kamu bukan buku.”

Andien menghentikan langkahnya untuk sekedar memberikan pukulan pada lengan Dirga. Ya, gadis itu juga tidak sadar ia sudah sedekat dan seberani itu dengan Dirga.

“Jangan bercanda, deh.”

Dirga menyembunyikan senyumannya saat Andien sudah menunjukan raut kesal, benar-benar kesal, bukan sekedar berpura-pura kesal.

Ia berjalan menyamai langkahnya dengan Andien yang sibuk memilih bahan-bahan adonan untuk kue, entah kenapa membeli benda-benda itu.

“Andien.”

Gadis itu mendongakkan wajahnya, mengangkat alis, enggan berbicara.

Dirga rasa, membuat gadis itu kesal bukannya tindakan yang pintar. Ternyata ia cukup tidak senang melihat gadis itu mengabaikannya.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang