07. Mas Macan

84.5K 7.8K 832
                                    

Andien memperbaiki posisi tasnya yang menggantung di pundak kanannya. Kemudian ia membuka pintu di sisi kirinya setelah Dirga keluar terlebih dahulu. Dirga rupanya memarkirkan mobil di depan sebuah lapangan tandus di sebelah tempat yang rencananya akan dipasangkan iklan perusahaan.

Jadi mereka harus berjalan beberapa meter untuk sampai di lokasi karena tidak mungkin memarkirkan mobil di pinggir jalan yang sedang ramai ini.

Andien berjalan di belakang Dirga yang nampak menelusuri trotoar yang sedang mereka pijaki.

"Disini?"

Dirga berhenti di ujung trotoar, ini adalah persimpangan jalan. Saat itu Reno dan Sarah membawanya kesini dan meninjau lokasi ini dari beberapa aspek.

"Iya, pak. Rencananya kita pasangkan tepat disini, nanti baliho ini akan dilepas kemudian digantikan dengan videotron kita."

Dirga nampak berpikir, kepalanya menengadah ke atas, kemudian kembali menatap sekelilingnya sebelum pandangannya jatuh pada Andien yang sontak saja membuat Andien panik dan gugup.

"Apa menurut kamu lokasi ini sempurna?"

Andien mengangguk ragu, "Iya, pak."

"Jangan bodoh. Sekali lagi saya tanya, apa lokasi ini sempurna?"

Andien menggeleng, meringis karena merasa tidak enak dan bodoh sekaligus.

"Sebutkan apa yang membuat lokasi ini tidak sempurna."

Entah kenapa sedari tadi tuntutan Dirga membuat Andien tidak berani mengucapkan satu kata yang tidak jujur, tidak ada keberanian untuk menutup-nutupi kesalahan sedikitpun. Mungkinkah Dirga memiliki mantra sihir? Sampai-sampai kaki Andien begitu lemas hanya karena pertanyaan dan tatapan dari Dirga.

"Ada pohon tinggi yang sedikit menghalangi bagian atas layar, pak."

Andien tidak mau menatap Dirga, takut sekali rasanya setelah mengatakan itu. Ini semua memang sudah salah, jawaban Andien pun sudah menunjukan betapa salahnya lokasi yang telah dipilih itu. Mana berani sekarang Andien melihat raut wajah Dirga.

"Sedikit? Sedikit atau memang sangat menghalangi?"

Andien sedikit melirik, ternyata Dirga sedang mengarahkan ponselnya ke pohon besar itu, mengambil gambar beberapa kali.

"Cukup menghalangi, pak."

Jawab Andien pelan. Kemudian Dirga menghadap Andien, membuat gadis itu mundur satu langkah dan menelan ludahnya kasar. Mati dia sekarang.

"Apa ini salah satu ketakutan kamu atas senioritas, Andien? Kamu tidak berani mengatakan pendapat kamu pada mereka, apa begitu? Dengarkan saya baik-baik Andien, kamu disini bekerja untuk saya, jadi yang harus kamu lakukan adalah selalu mengutamakan kepuasan saya. Sadar kamu dengan apa yang sudah kamu dan rekan kamu perbuat? Mengecewakan saya."

Andien menunduk, bukan seperti itu, bukan karena senioritas, sama sekali bukan. Hanya saja saat itu Andien tidak begitu fokus pada lokasi tinjauan ini karena dia hanya ikut-ikut saja. Tapi ia pun tidak berani mengatakan itu pada Dirga, itu akan semakin bahaya jika dia mengakui bahwa dia tidak fokus saat itu.

"Maafkan saya, pak. Awalnya saya memang merasa tempat ini kurang cocok, tapi Mas Reno dan Mbak Sarah mengatakan bahwa nantinya pohon ini akan ditebang agar pemasangan videotron kita bisa sempurna."

Sesopan mungkin Andien mencoba menjelaskan apa yang dia ketahui dari ide-ide yang pernah dikatakan oleh Reno dan Sarah. Dalam hatinya ia berharap agar Dirga bisa lebih memaklumi lagi, terutama untuk Andien yang yang mengikuti proyek ini dari awal.

"Hebat sekali. Padahal saya sudah sering kali memperingati bahwa tidak boleh menebang pohon di lahan yang bukan milik perusahaan, terlebih lagi hanya untuk pemasangan iklan, saya tidak suka. Sepertinya Dokter spesialis THT adalah yang sangat kalian perlukan saat ini, bukan begitu, Andien?"

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang