23. Bukan Pesta Terbaik

83.7K 7.1K 418
                                    

“Bukan Pesta Terbaik.”

•••

Andien sudah tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran Dirga. Kenapa laki-laki itu dengan mudahnya memarkirkan mobil di depan pagar kostnya, berdiri di depan kap mobil sambil menyilangkan tangan dan memincingkan matanya pada Andien karena gadis itu menolak untuk ikut ke apartemen Dirga.

Andien yang berdiri tepat di depan Dirga hanya bisa melontarkan berbagai alasan sebagai perisai agar bisa menolak ajakan laki-laki itu.

“Memang kenapa?”

Tanya laki-laki itu lagi, untuk kesekian kalinya.

“Ya... kenapa juga Andien harus mau ke apartemennya mas? Andien tidak akan telat, kok. Andien bangun jam lima pagi, loh.”

“Apa salahnya kalau kamu ke apartemen saya? Dimas sering ke rumah pacarnya, kenapa kamu tidak mau ke tempat saya?”

Andien menghempaskan kedua tangannya di sisi tubuhnya, mendengus kesal dan tidak habis pikir.

“Iya, tapi ini sudah malam, lagi pula mereka kan sudah pacaran dan kebetulan keluarga pacar Mas Dimas kan mengizinkan Mas Dimas untuk ke rumahnya.”

Andien ingat saat Dimas bercerita bagaimana awal-awal dia datang ke rumah pacarnya, katanya sulit mendapat izin dari orang tua pacarnya karena mereka sangat ketat terhadap kehidupan anak mereka alias pacar Dimas.

Sama seperti mama dan papa Andien, terutama papanya. Laki-laki setengah abad itu selalu mengingatkan Andien untuk mengenalkan pacarnya, siapapun itu, papanya harus tahu. Karena setelah kisah saat terakhir kali ia berpacaran dulu membuat papanya enggan sembarangan membiarkan laki-laki menjadi pendamping anak bungsunya itu.

“Memangnya kamu bukan pacar saya?” Kini laki-laki ini mulai terdengar semakin serius, matanya menajam pada netra Andien.

“Hah? Loh... kita kan... emang sejak kapan mas nembak Andien?”

Laki-laki kepala tiga di depannya ini mampu membuat Andien terbata-bata, walau mereka memang sudah menjalin kedekatan beberapa waktu terakhir ini, tapi Andien yakin bahwa status mereka belum menyentuh tingkat yang satu itu.

Dirga tidak pernah sekalipun mengatakan apapun mengenai pacaran. Hanya sekedar pendekatan lebih jauh, dalam ikatan sebelum romansa yang sesungguhnya terjadi.

“Andien, saat kamu sakit di apartemen saya, bukankah saya sudah mengatakan keinginan saya pada kamu? Kamu bahkan mengizinkan saya.”

Gadis itu menggeleng, “Itu izin untuk mendekati Andien kan, mas! Kita masih dalam masa pendekatan.”

Dirga berdecak, mulai mengetukkan buku-buku jarinya pada kap mobil berwarna hitam miliknya itu.
“Lalu apa yang harus saya lalukan agar kamu menjadi pacar saya?”

Andien menyilangkan tangannya di depan dada dan menggelengkan kepala. “Mana Andien tau, cari tau sendiri sana.”

Gadis itu dengan berani mendorong tubuh Dirga agar kembali ke dalam mobilnya. Jika dibandingkan dengan di kantor, maka Andien lebih memilih Dirga saat di luar kantor, rasanya lebih tenang saja ketimbang saat di dalam kantor.

Walau masih sama-sama memegang raut wajah yang serius dan keras, tapi aura yang timbul sedikit berbeda saat Dirga sedang tidak memakai setelan kantornya.

Serius, laki-laki yang satu ini butuh les melemaskan raut wajah. Siapapun yang melihatnya, pasti akan langsung berasumsi bahwa dia adalah laki-laki yang tegas, keras, terlalu serius, kaku, dan tidak ramah. Walau kenyataannya memang begitu.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang