20. SIM!

70.5K 7.6K 738
                                    

Beberapa hari lalu, mungkin sekitar lebih dari satu minggu, saat mama dan abangnya datang ke Jakarta. Walau singkat, tapi kalau boleh waktu diulang kembali, maka Andien ingin sekali bisa berada di hari itu lagi.

Berpeluk manja dengan sang mama dan memaksa abangnya untuk menggendong Andien di punggungnya saat mereka akan turun ke restoran di lantai dasar hotel. Andien menjadi si manja lagi selama mama dan abangnya ada disini sebelum harus merelakan mereka kembali ke Jogja.

Andien mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap ke langit-langit berwarna putih pucat di atasnya, ada rasa bersalah karena tidak memberitahu keadaannya sekarang pada keluarganya, terutama sang mama. Tapi Andien pun merasa bahwa itu tidak perlu untuk sekarang, bagaimanapun juga, kepanikan dari mamanya bukanlah yang terbaik untuk saat ini. Dia hanya demam, tidak dirawat di rumah sakit pula.

Tidak dirawat di rumah sakit, benar sekali. Tapi Andien juga tidak tahu dia sedang dimana. Ini jelas bukan kamar kostnya.

Sejak bangun dari tidurnya beberapa menit lalu, Andien sudah mencoba mengingat-ingat kamar semua kenalannya yang pernah ia singgahi, tapi hasilnya nihil. Tempat Andien tidur saat ini bukanlah tempat yang ia kenal.

Juga, ada nampan dengan bubur hangat di nakas dan susu putih sebagai penemannya. Andien mengernyit jijik, kenapa makanan orang sakit selalu seperti ini?

Tiba-tiba pintu terbuka, membuat Andien waspada dan menarik selimut sampai ke dagunya.

Seorang wanita muncul, rambutnya digulung ke belakang, sepertinya memiliki rambut yang cukup panjang. Ada beberapa helai rambut putih yang terlihat, wanita itu mungkin berusia hampir lima puluh tahun.

Sampai wanita itu duduk di kursi yang sudah ada di sebelah tempat tidur, dia menampilkan senyum lembut, membuat Andien sedikit tenang setelah sebelumnya diselimuti ketegangan.

“Saya... dimana ya, mbak?”

Ragu-ragu Andien bertanya, pertanyaan itu yang sedari tadi Andien pikirkan.

Wanita itu mengangguk sebanyak satu kali dan tersenyum, mengambil mangkuk bubur dari atas nakas sebelum menyodorkan satu sendok penuh bubur kepada Andien yang sekarang sudah terduduk.

Andien mengernyit, sebelum menggeleng. Siapa wanita ini? Kenapa memberi Andien makan?

Apa mungkin dia sedang diculik? Memang pikiran-pikiran buruk terus berdatangan sejak tadi, sampai Andien tidak bisa berpikir jernih lagi.

“Saya dimana? Saya mau pulang.”

Lagi, wanita itu hanya tersenyum, namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan Andien.

Tidak menyerah, wanita itu menyodorkan sendok buburnya kepada Andien, menunggu gadis itu membuka mulutnya. Membuat Andien semakin ketakutan.

“Saya gak mau makan itu.”

Mungkin aja dia racunin gue. Mungkin aja dia penyihir atau nenek lampir, mau bunuh gue terus makan badan gue biar bisa awet muda.

Senyuman di bibir wanita itu luntur, kemudian tanpa Andien sangka, wanita itu memakan bubur yang sebelumnya ia sodorkan pada Andien.

Wanita itu mungkin paham akan kekhawatiran gadis amatir ini.

Kemudian sendok bari diambilnya dari nakas, hendak memberikan suapan lagi kepada gadis itu. Namun, tangannya berhenti bergerak, sepertinya memikirkan sesuatu yang membuat Andien menegang.

Gadis itu masih sama, masih penasaran dengan wanita di sebelahnya dan tempat dia berada ini.

Tiba-tiba, sebuah kertas gambar dikeluarkan dari dalam rak kayu di sudut ruangan. Spidol hitam juga ada di tangan si wanita.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang