08. Pindah Atau Berhenti?

88.1K 8.5K 1K
                                    

"Mbak! Mbak marahin ini Mas Dimas ambil-ambil ayam Andien!"

Lintang sedari tadi geram dengan kejahilan Dimas dan Reno di meja makan kantin yang tidak ada hentinya mengganggu keempat perempuan itu. Masalahnya, tiga rekan perempuannya itu selalu mengadu dan meminta perlindungan. Kan Lintang lelah menendang kaki Dimas dan Reno.

"Gue kutuk lo, Dim."

"Jimjalabim jadi apa prok-prok-prok!"
Reno mulai menirukan suara ala Pak Tarno.

"Udah ih! Berisik tar dimarahin ibu kantin."

Akhirnya meja mereka bisa tenang dari keributan. Mulai melanjutkan makan dengan nafsu makan menggebu-gebu.

"Mbak, Andien mau buat teh susu, nih. Nitip, nggak?"

"Gue nggak, Dien." Balas Pinkan dan Lintang serta Sarah juga menggeleng.

"Oke kita gak ditawarin, Dim."
Singgung Reno namun Andien langsung menjulurkan lidahnya, pertanda mengejek.

Andien berjalan ke belakang kantin, disana ada satu ruangan untuk mencari minuman. Misalnya kopi, teh, atau yang lain.

Disana ada dua orang perempuan yang membelakang Andien, kelihatannya sedang membuat kopi. Andien tidak kenal, maklum perusahaan ini sangat besar dan dia belum melihat semua semua wajah-wajah orang disini.

Andien akhirnya membuat susu saja, karena malas mengambil teh yang terletak di dekat kedua perempuan itu. Mengaduknya beberapa saat ketika sudah menuangkan air panas, Andien hendak keluar, kembali ke meja rekan-rekannya. Namun urung saat dia mendengar dua perempuan itu tiba-tiba mengungkit namanya.

"Si Andien yang anak marketing baru itu, Gin."

Andien tetap berpura-pura sibuk, berusaha menguping pembicaraan dua orang yang sekarang sedang saling membelakangi dengan Andien.

"Yang bener, lo? Gak percaya ah gue."

"Dih, sejak kapan gue pernah ngasi info salah ke lo? Nih ya, gue tuh bener-bener liat dia keluar dari mobil Pak Dirga, sendirian tanpa ada si Dimas atau anak marketing lain. Apa lagi coba namanya kalau bukan ngegodain Pak Dirga. Mentang-mentang cantik tuh, kecentilan, makanya gue gak suka sama dia."

Andien membulatkan matanya, panas sekali hatinya mendengar itu. Enak saja dia disebut menggoda atasannya itu! Jangankan menggoda, bertemu dengan Dirga saja rasanya sudah seperti ada di ambang kematian.

"Gue juga dari awal gak suka tuh liat dia, sok kecakepan banget. Pasti dia udah pernah seenggaknya satu malem sama Pak Dirga, makanya sampe bisa diajak semobil sama Pak Dirga. Sumpah ya, kalau liat dia rasanya pengen gue injek-injek."

Tahan, Andien. Ini kantor, nggak boleh main serang, gak boleh main sleding, tahan dulu, tahan, inget Tuhan, inget Mama.

Andien berdehem dan meletakan sendok dengan keras di depannya agar membuat dua orang itu sadar akan kehadiran Andien dan berhenti berbicara yang tidak-tidak tentang Andien.

Andien berbalik, tepat saat dua wanita itu juga berbalik dan menyadari kehadiran Andien. Mereka berdua akhirnya mengambil langkah lebih dulu, sementara Andien menatap mereka dengan tatapan kesalnya.

"Akh!"

Sontak tangan Andien tidak sanggup memegang gelas susunya hingga jatuh dan pecah. Berawal saat satu dari wanita itu dengan sengaja menumpahkan kopi panas di rok Andien yang langsung mengalir ke paha kanannya.

"Ups, sori. Kopi juga tau ya tempat buat mendarat."

Keduanya terkik sementara Andien berusaha mengusap cairan kopi di pahanya yang membuat pahanya berwarna kemerahan karena panas dari kopi itu. Sesekali ia meringis, hampir menangis.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang