05. Andien dan Kegelisahannya

85.6K 8.2K 699
                                    

Pagi yang cerah, cerah menyilaukan sampai Andien tidak kuat berdiri di depan lobi kantor sepuluh menit lamanya. Dengan Dimas tentunya.

Semalaman Andien tidak bisa tidur, alasannya karena pusing memikirkan tentang hari ini dimana ia akan ikut meeting dengan Dirga. Awalnya Dimas mengatakan meeting akan dilaksanakan di ruang meeting milik kantor, tetapi tiba-tiba saja Dirga mengabarkan bahwa mereka harus meeting di lain tempat.

Sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan lobi, Andien menebak bahwa itu adalah mobil milik Dirga. Semakin diperkuat saat Dimas mengetuk kaca mobil.

"Bapak yakin mau nyetir? Apa tidak sebaiknya saya saja yang nyetir, pak?" Tanya Dimas saat kaca mobil diturunkan oleh Dirga.

Bapak ganteng, tapi sayang galak.

Andien menyaksikan interaksi antara Dirga dan Dimas dalam diam, menunggu mereka berdua selesai bersiskusi.

"Saya saja. Cepat masuk, meeting sebentar lagi dimulai."

Dimas menatap Andien, memberi kode untuk mendekat. Kemudian Andien menyusul Dimas masuk ke kursi belakang. Andien belum buka suara, ia hanya diam dan mencoba mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hanya saja, mobil tidak kunjung berjalan, membuat Andien dan Dimas ragu-ragu menatap Dirga dari kaca.

"Apa saya supir kalian?"

Kan tadi lo yang minta nyetir, nangis nih gue lama-lama.

"Maaf, pak. Ini, Andien duduk di depan aja."

Andien melotot, bisa-bisanya Dimas menjerumuskan Andien ke dalam neraka. Anak suci dan lugu seperti dirinya mana mau masuk neraka, walaupun surga pun belum tentu mau menerimanya. Tapi tetap saja, Andien kesal, kenapa harus dia? Dimas kan sudah mengenal Dirga lebih lama, seharusnya dia saja yang duduk di depan.

"Ga... gak mau. Mas Dimas aja." Balas Andien namun bisik-bisik pada Dimas, tatapannya sendu seperti berpura-pura akan menangis.

Dimas mengalah dan keluar mobil, kemudian membuka pintu penumpang dan duduk di sebelah Dirga. Untung saja Dimas tidak jahat, kalau sampai Andien dipaksa duduk di depan, mungkin saja Andien akan mengamuk nanti pada Dimas.

Perjalanan terasa panjang, entah karena memang jauh atau hanya karena Andien yang merasa gelisah di kursi belakang itu. Yang jelas, Andien banyak berdoa dalam hatinya tentang hari ini.

"Hilton?"

Dimas membuka percakapan, ditujukan pada Dirga yang mengangguk sebagai balasan.

"Pas gue nabrak pembatas jalan waktu itu, inget gak?"

Ucapan Dirga yang diiringi tawa kecil membuat Andien yang tadinya menunduk, langsung mengangkat kepalanya dan melotot. Apa dia salah dengar? Bukankah tadi itu Dirga sedang berbicara dengan bahasa tidak baku dan bahkan tertawa? Gila, Andien bahkan mengira Dirga tidak mungkin bisa tertawa.

"Inget lah, bang! Masih nempel nih di kepala. Sampe diomelin sama tukang parkir, eh pas lo kasi kartu nama, langsung minta ampun sampu sujud-sujud."

Kini balasan Dimas giliran membuat Andien terkejut.

Kok mereka jadi akrab gitu? Perasaan kemarin juga Mas Dimas abis kena marah, kan? Kok sekarang...

"Senjata ampuh kartu nama gue, Dim."

Andien yang masih sangat penasaran hanya bisa diam saja. Dia tidak diajak bicara, dianggap ada pun sepertinya tidak. Tapi bagi Andien itu lebih baik, dia belum siapa kalau harus ikut dalam obrolan dua orang yang nampak akrab itu.

Andien mengeluarkan ponselnya. Beberapa menit telah berlalu dan Andien sedang bimbang. Haruskah ia mengirim pesan pada Dimas? Masalahnya, Andien sedang kebelet buang air kecil sejak beberapa menit yang lalu dan tempat tujuan mereka tidak kunjung dicapai.

[6] Stop, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang