BIF 35

6.4K 1.5K 30
                                    

Bimbang

Pagi ini, aku lihat ketiga monster sedang bermain. Aku hanya bisa terkekeh dari kejauhan. Mereka saling memeluk, menindih dengan tawa. Anehnya gigi mereka tampak gemas pada kembarannya sendiri. Sesekali mereka berebut mainan, bertengkar, tetapi tidak pernah lama.

Selesai di dapur, aku langsung mengambil gendongan.

"Ayo, anak-anak. Kita berangkat!" Aku berseru sembari memasang baby carier.

Pantatku masih gosong, tetapi hari ini aku mengajak ketiga monster berjalan-jalan. Tidak ada yang bisa dilakukan di rumah, duduk pun aku tidak sanggup. Padahal tidak separah yang dibayangkan, hanya saja aku bersikap manja, meski manja pun tidak ada yang memanjakan jika bukan diri sendiri.

Hari ini, hanya Vio yang digendong di depan, karena tubuhnya agak panas dan sedikit demam. Biasanya dia akan lupa sedang sakit saat keluar rumah. Kedua kakaknya aku tuntun, entah mereka yang aku tuntun atau aku yang dituntun bagai Kakek-kakek.

"Sekarang kalian sudah besar rupanya, sudah tidak digendong lagi. Anak pintar," ujarku memuji.

Dalam satu hubungan, harus ada pujian untuk apresiasi hal sekecil apa pun.

"Iya, kami sudah besal," sahut Zio setuju.

Kakinya melangkah dengan tidak sabaran. Kini kami akan menemui kakakku yang masih perawan itu. Merecokinya lebih menyenangkan dari pada menyiksa diriku di rumah.

Namun, orang pertama yang aku temui malah Alisya. Lama tidak berjumpa dengan gadis itu. Ia tampak muram, wajahnya pucat. Duduk sendirian di halte, dan satu tangannya menggenggam plastik.

Akhirnya aku memutuskan menghampirinya. Dengan menggandeng kedua anakku agar tidak berpencar.

"Alisya?"

Dia menoleh saat aku panggil. Benar, Alisya tampak sedang sakit.

"Apa yang kau lakukan di sini? Dan, ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat letih," tanyaku, dan Alisya tersenyum tipis.

Sangat tipis, hingga hanya orang yang pandai saja yang bisa melihatnya. Bersyukur aku pandai.

"Aku tidak apa-apa." Suaranya terdengar parau.

"Apa terjadi sesuatu?" tanyaku, kali ini mendudukkan kedua monster.

Aku tidak akan duduk, dan semoga Alisya tidak memintaku untuk duduk, pasalnya pantatku seperti habis digoreng. Masih abu-abu.

"Ibuku meninggal beberapa hari lalu."

"Apa?!" Aku memekik, terkejut.

Sungguh, aku terkejut mendengar berita duka ini. Meski baru bertemu dengan ibunya sekali, aku yakin Alisya sangat terpukul. Dia hidup sebatang kara sekarang.

Aku hampiri dia, menggosok punggungnya dan mengucapkan kata sabar dan tabah untuknya. Aku yakin, ucapanku tidak berguna, karena kehilangan orang yang kita sayangi sangatlah menyakitkan. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan. Aku telah mengalaminya.

"Lalu, kau tinggal di mana sekarang? Masih di sana?"

Alisya menggeleng. Ia tampak masih sangat terpukul. "Aku tinggal di rumah seniorku. Dia sudah seperti ayahku," jawab Alisya, masih berusaha tersenyum.

Dia tidak perlu berusaha tersenyum, jika itu menyakitinya. Kini, Alisya beralih pada kedua anakku, Vio tertidur dalam dekapanku. Gadis itu mengambil tiga roti yang dia bawa, memberikannya pada Nio dan Zio. Bahkan, dia tidak melupakan Vio, memisahkan roti dan memberikan bagian Vio padaku.

Alisya tampak lebih tersenyum cerah saat bermain dengan ketiga monsterku.

"Datanglah ke rumahku jika kau ingin," tuturku, dan Alisya menatapku sejenak, hingga akhirnya mengangguk dengan semangat.

Saat ini, aku hanya merasa iba. Dia masih muda, tetapi harus hidup sebatang kara. Aku harap, Alisya baik-baik saja. Aku sedikit menghawatirkannya.

Kulihat Nio meraih tangan Alisya dan menggenggamnya, tak lupa tangan satunya memegang roti.

Alisya tersenyum kembali saat Zio memakan roti sangat lahap hingga selai menempel di pipi merah mudanya.

Semoga kau baik-baik saja, Alisya.

••••

Turut berduka Alisya
Kami berduka untukmu

Gimana chapter ini? Lanjut aja langsung scroll

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang