BIF 25

9.8K 1.9K 134
                                    

Gorila

Seperti janjiku, sebagai laki-laki aku menepatinya. Aku dan ketiga monster telah sampai di halte, menunggu bus datang. Beruntung, Nio sudah kembali ceria, hingga kami bisa menikmati cuaca indah hari ini.

"Siapa nama Papa?" Sembari menunggu, aku menyelipkan pelajaran, agar mereka setidaknya mengingat namaku saat terjadi hal-hal buruk.

"Alis!" Seketika aku tertawa mendengar jawaban si bungsu.

"Hei, kenapa bukan dahi sekalian? Ucapkan yang benar. Jika kalian hilang, kalian harus lapor Polisi dan menyebut namaku. Siapa nama Papa?"

Aku mencoba bertanya kembali.

"Alden!" Aku memekik saat Zio menyebut namaku, meski tidak lengkap tetap harus diapresiasi.

"Alden Alisano! Ingat itu, oke?" Ketiganya mengangguk.

"Busnya datang!" seru Nio saat melihat bus berwarna biru itu.

Mereka berteriak senang. Tetap bergandengan saat menaiki bus. Kami duduk bersama, Nio duduk di pinggir kaca jendela dengan Zio, si bungsu aku pangku untuk menghemat uang tentunya.

"Aku tidak mau dipangku," ujar Vio ingin duduk sendiri seperti kedua kakaknya.

"Lalu aku harus duduk di mana?" tanyaku memelas.

"Aku akan memangku Papa," jawabnya dengan menepuk pahanya.

"Jangan begitu, kau akan berakhir jadi keripik combro nanti. Papa akan memangkumu hingga kita sampai," tuturku menolak, dan dia menurut karena tidak ada pilihan.

Namun, hanya sebentar, Vio naik ke kursi para kakaknya. Berdiri agar tidak menghabiskan tempat. Dia ingin melihat pemandangan dari jendela rupanya.

"Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik.
Oh senangnya aku senang sekali."

Aku bernyanyi lagu Crayon Sinchan dengan merdu. Bahkan ketiga anakku ikut bernyanyi, meski pengucapannya begitu berantakan.

Lagu masa kecilku masih dinikmati keturunanku, aku merasa seperti sebaya dengan mereka. Haruskah aku memakai popok juga?

"Wah, itu gedung. Itu Poli, itu Amber."

"Selamat pagi mobil melah."

"Halo jalanan."

"Halo sepeda."

Begitulah para monster menyapa semua yang mereka lewati. Aku bahkan merasa seperti duduk dengan orang hutan, atau bisa saja gorila. Tampak sangat kampungan bukan? Aku sampai tersenyum kikuk untuk meminta maaf pada penumpang lain atas ketidak nyamanannya.

"Apa mereka anakmu?" tanya wanita paruh baya padaku.

"Iya, mereka anakku," jawabku tersenyum ramah. Barang kali setelah ini dia akan memberi kami angpao.

"Kalian sangat mirip dan tampan. Mereka sangat lucu seperti anak ayam," ujarnya terlihat gemas.

"Anak ayam? Sepertinya kau salah, mereka seperti anak gorila," tuturku membuat wanita itu terkekeh.

Jika monster anak gorila, aku ayah gorila?Ish.

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now