BIF 33

6K 1.4K 42
                                    

Apa Lagi?

Tidak ada angin apalagi hujan. Bukan Mama yang kembali membuat ulah, tetapi Papa. Saking tidak percayanya, aku hanya bisa terduduk di lantai apartemen ini dengan menatap gadis yang tengah bermain dengan ketiga putraku.

Dia benar-benar mendatangkan gadis ke rumahku. Apa lelaki yang menjabat sebagai papaku itu tidak memikirkan resiko?

Kini, gadis bernama Meila itu mendekatiku. Gadis berusia 20 tahun itu Papa jodohkan denganku. Lihat saja apa yang akan aku lakukan untuk menggagalkannya.

"Aku merasa bahagia bermain dengan mereka. Mereka bertiga cukup ramah," ujar Meila.

Dia belum tahu bagaimana mood monster jika tengah jelek. Habislah dia.

Aku tersenyum. Untuk kali ini saja, aku akan bersikap baik, karena Meila adalah putri teman Papa. Aku harus tetap elegan dalam merancang rencana.

"Kau setuju jika menikah?" Aku memulai pancingan.

Aku lihat, dia menunduk lalu mengangguk tanpa menatapku. Dia menyembunyikan rona di pipinya.

"Kapan kau ingin menikah?" Kali ini dia langsung menghadapku.

"Jika kau ingin secepatnya, akan aku lakukan," jawab Meila.

Nenek lampir ini, apa dia tidak sadar apa yang akan terjadi jika dia menikahiku?

"Benar, mari kita menikah secepatnya," ujarku, tersenyum kemenangan.

"Sungguh? Kau akan menikahiku?" Meila tampak begitu senang.

Apa aku setampan itu? Kenapa bocah ini menyukai duda sepertiku? Ya ampun, seleranya rendah sekali. Padahal dia cantik, kulit mulus, mata indah, rambut panjang, dia bisa saja memacari pria tampan yang lajang di luar sana.

Aku mengangguk, dan dia langsung memelukku. Sesungguhnya aku takut berdosa memberi harapan pada gadis muda ini.

"Aku akan memberimu tiga anak juga. Aku akan membuatmu mengandung tiga anak–"

"Hah?"

Dia terkejut dengan pernyataanku. "Kau tahu aku tokcer." Aku tertawa dalam hati sudah menggema.

"Tapi ... aku–"

"Kau ingin lima sekaligus? Baiklah," tawarku, seolah tertarik menikah dengannya.

"Malam pertama, kita akan tidur bersama mereka semua. Kau tahu itu, kan?"

"Hah?" Meila semakin syok mendengar pernyataanku satu persatu.

Ayok, lari atau menangislah. Menikah denganku bukanlah hal mudah. Lagi pula, aku akan memilih wanita yang menerima para monster kecil tanpa pamrih.

"Jika kita menikah, kaulah yang mengurus mereka semua, dan aku akan bekerja sebagai seorang suami. Kita akan sangat bahagia." Penuturanku sangat apik, aku mencoba merangkulnya.

Namun, dia mendorongku agar tidak merangkulnya. Itu pertanda rasa takut sudah menjangkiti jiwanya.

Bagus Alden, kau melakukannya dengan sempurna.

"Bukan begitu. Apa tidak bisa, kau tetap di rumah bersamaku, merawat mereka bersama?" Meila tampak gugup mengatakannya.

"Lalu, aku harus memberimu makan apa? Cinta? Kau bisa mati kelaparan," ujarku, masih menyunggingkan senyum.

Jujur saja, pilihan Papa kali ini memang tidak salah. Mudah sekali untuk menggagalkan ini. Gadis muda, ambisiusnya masih tinggi, lebih memikirkan gaya hidup. Tidak sulit untuk menakutinya dengan bayangan kelam masa depan.

"Ngomong-ngomong, kau mau membantuku mencabut bulu ketek? Bulu ketekku sudah subur, calon istri yang baik ha–"

"Bisakah kita bicarakan ini? Maksudku ... masa depanku," potongnya masih gugup.

Tentu, sudah aku duga dia akan memikirkan dirinya sendiri. Aku menunggu keputusannya.

"Aku masih memiliki mimpi, aku harap kau biarkan aku mengejar mimpiku. Sampai saatnya tiba kita menikah," kata Meila tertunduk.

Tidakkah dia mengantar nyawanya ke sini?

"Aku akan bicara dengan papa, aku harap kau mengerti tentang mimpiku," tambahnya.

Aku tersenyum, mengelus rambutnya. Aku tidak marah sama sekali, karena aku berharap dia kembali pada orang tuanya. Membantuku menggagalkan rencana bodoh ini. Seandainya aku siap untuk menikah pun, pasti aku memilih wanita yang sepadan.

"Apa pun yang kau putuskan. Kau berhak memiliki mimpi, tapi mimpimu akan aku hentikan jika kau menjadi istriku. Kau tahu bagaimana keadaanku, kau tahu kenapa istriku harus tetap di rumah."

Bibirku memang manis.

Meila mengangguk setelah mendapat penjelasan dariku.

"Aku tidak akan menjadi istrimu. Sampai jumpa, senang bertemu denganmu," pamitnya berlari pergi. Dia tampak sedih, entah kecewa karena kita tidak bisa bersatu, atau karena takut.


••••

Yok, daftar jadi bini Alden
Absen dari aku
1
Kalian urutan nomor berapa?

Tbc. Langsung double up
Scroll bawah

Because I'm Father (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora