BIF 18

12.3K 2.3K 323
                                    

Aku berbalik. Kulanglahkan kembali kakiku tanpa egois. Meski terluka, bukankah aku sudah melewati luka dalam itu? Kulewati tubuh Alisya, dan aku sempat melihatnya yang tersenyum. Aku buka gerbang itu tanpa ragu, hatiku tidaklah penting, karena jiwa dan ragaku bersama ketiga monster kecil itu.

Alisya mengikutiku di belakang, sedangkan aku berjalan ke rumah yang menyiksa batin ini. Aku kambali terhenti, menoleh pada gadis di belakang. Sungguh aku ingin menangis saja, aku tidak tahan menahan luka ini. Rumah ini adalah tawa sekaligus luka penderitaan bagiku. Ingin aku katakan kalau aku tidak mampu masuk ke rumah itu pada Alisya. Ini adalah kepahitan yang pedih untuk aku rasakan kembali.

Boleh aku lambailan tangan ke kamera? Aku tidak sanggup.

"Aku tidak sanggup," ucapku ingin menangis dan Alisya mendekatiku.

"Kau hebat, kau bukan orang lemah yang rela terus disakiti. Aku di sini untuk mengusir lukamu," ucapnya yang kali ini membuatku menghangat, sedikit hilang lukaku, apa dia adalah penghilang luka?

Sadarlah Alden.

Kuhela napas panjang, baru maju satu langkah dan teriakan monster membuatku kembali menghentikan langkahku.

"PAPA!" teriak Nio, langsung berlari ke arahku.

"Nio? Aku merindukanmu," ucapku menciumnya dan memeluknya.

"Aku juga Papa. Aku tidak betah, aku rindu masakan, Papa," ucap Nio masih memelukku. Akhirnya kedua adiknya menyusul, memelukku juga.

"Kenapa kau balu menjemput kami, huh? Telnyata kau selingkuh!"  ucap Zio cemberut merajuk.

Alisya tersenyum. "Aku tidak akan sampai sini tanpanya, aku tidak mungkin selingkuh. Aku 'kan hanya milik kalian, dan kalian hanya milikku," ucapku memeluk ketiganya.

"Kau lama sekali, kami sudah tidak tahan di sini, rasanya aku ingin melarikan diri kemalin," ungkap Vio dramatis.

"Sekarang kita akan pulang," ucapku berdiri, dan aku lihat Ibu mertua berjalan mendekat.

"Mereka tidak betah, aku mengambil mereka … dan aku mohon jangan pernah ambil mereka kembali," ucapku tegas.

"Kau dan mereka sama saja, tidak ada bedanya. Jika bukan karena mereka yang minta kembali padamu, aku sudah membawa mereka ke luar negeri," ujar Ibu mertua setengah kesal.

"Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, kecuali daun, yang bisa terbang lebih dulu lalu jatuh jauh dari asalnya."

Hei aku pintar kan? Peribahasanya benar tidak? Kenapa aku tidak yakin.

"Nenek, aku tidak mau ke sini lagi. Kau bohong, tidak ada Mama di sini," ucap Vio kesal dan kecewa.

"Ya, terserah kau saja," ucap wanita tua itu.

Mungkin sudah merasakan bagaimana merawat ketiga monster ini, tidak tahankan? Memang hanya aku yang mampu.

"Kita pergi?" seruku.

"Gendong!"

Ah, sudah dimulai lagi.

"Baiklah, aku gendong kalian." Aku gendong Zio dan Vio di depan.

"Biar Nio aku yang gendong," ucap Alisya, lalu menggendong Nio di punggungnya.

"Nio sangat berat, turunkan saja," ucapku yang kasihan pada Alisya.

"Tidak, aku senang melakukan ini," jawabnya berjalan mendahuluiku.

"Papa, sepeltinya jantungmu tidak normal," celetuk Zio yang sempat menempelkan telingannya di dadaku.

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now