BIF 19

11.6K 2.1K 185
                                    

Aku Dan Kau

"Hoek, hoek!" Aku dengar suara orang hendak muntah, dan di rumah ini hanya aku dan istriku.

"Sayang kau baik-baik saja?" seruku dari luar kamar mandi apartemen ini.

"Iya, aku baik-baik saja!" jawabnya setengah berteriak.

"Cepatlah keluar! Aku menghawatirkanmu!" seruku masih di depan pintu kamar mandi.

Pintu pun dibuka, menampilkan wanita cantik dengan rambut panjangnya. Namun, aku melihat dia tidak baik-baik saja, wajahnya pucat.

"Aruna, kau sakit? Sejak kemarin kau terus ingin muntah, apa kau belum ke Dokter juga?" omelku pada Aruna Aarushi. Aku begitu hawatir melihat keadaanya.

"Tidak, aku sudah ke Dokter kemarin," jawab wanita tercantik di dunia ini.

"Lalu, kau kenapa? Masuk angin? Anemia? Atau apa?" tanyaku bertubi membuatnya tersenyum.

Dia memelukku tiba-tiba, mengeratkan pelukanya dan menyandarkan dagunya di bahuku, bahkan aku bisa mencium shampo yang dia pakai.

"Kau kenapa, um? Jangan membuatku takut, atau aku akan ngompol sekarang?" ancamku membuatnya terkekeh dan mencubit perutku meski tetap memelukku.

"Jangan kaget mendengar ini, ya? Aku mohon," ucapnya begitu pelan dan lembut tepat di telingaku.

"Sebenarnya ada apa? Kau sakit apa? Kanker? Stroke? Diabetes? Atau penyakit mematikan lainnya, huh? Aku sudah pipis di celana karena takut!" seruku begitu panik dan Aruna masih bisa tertawa?

Aku akan segera mengompol beberapa saat lagi.

"Berjanjilah?" ucapnya begitu menuntut, sedangkan aku sudah tidak karuan.

"Baik, aku janji," jawabku pasti, meski tidak yakin jika dia akan mengatakan bahwa dia akan segera mati beberapa bulan lagi, karena kanker, diabetes atau penyakit mematikan lainnya.

Sungguh aku tidak siap.

"Aku hamil."

"APA?"

"Ish, sudah aku bilang jangan terkejut, kau bisa megejutkan bayi di perutku!" omelnya mencubit perutku lahi.

Kulepaskan pelukannya, kutatap dia lekat dengan memegangi kedua bahunya.

"Sungguh? Kau hamil?" tanyaku memastikan pendengaranku dan dia mengangguk dengan senyuman di wajah cantiknya.

"Hamil anak kita? Astaga, kenapa kau baru bilang?! Kyaaa, aku jadi Papa!" teriakku berjingkrak dan Aruna hanya menertawakanku.

Kutatap dia kembali. "Terima kasih Aruna, kau yang terbaik," ucapku mengecup bibirnya sekilas.

"Aku mohon … jaga bayi di perutmu, dan mulai hari ini, aku tidak akan pulang malam lagi demi kau," ujarku dan Aruna hanya mengangguk pasrah.

"Kau senang?" tanya Aruna tak masuk akal.

"Apa aku perlu berteriak lagi dengan berguling untuk menunjukan kebahagiaanku?" tanyaku menggoda Aruna, dan dia menggeleng dengan memukul kepalaku pelan.

"Ada sesuatu yang belum aku beritahukan padamu," ucapnya membuatku kembali terdiam dan takut. Aku mulai gelisah melihat raut wajahnya.

"Aku sudah hamil delapan minggu," ucapnya dan aku begitu lega.

"Itu bagus Aruna, aku senang kau hamil. Aku tidak bisa membayangkan jadi Papa, rasanya aku ingin menangis," ucapku mengelap air mata yang tidak jatuh.

"Kau senang, ya? Tapi aku belum selesai memberi tahumu. Mungkin ini akan membuat hidupmu agak sulit, dan harus lebih hemat," ucap Aruna sedikit gelisah.

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now