BIF 31

6.6K 1.4K 141
                                    

Brosur Terkutuk

Sambil bergoyang, mengocok telur. Tidak ada yang spesial dari hidupku, kecuali telur dadar spesial yang aku buat. Telur dadar yang hanya ditambah rasa yang pernah ada itu kini aku goreng. Kecilkan apinya, gulung panjang, sepanjang jalan kenangan. Jangan lupa, pakai daun bawang jangan pakai perasaan. Tunggu sampai matang, kalau bosan bilang, jangan menghilang.

Yang jelas, ini tutorial memasak telur ala Alden.

"Papa!" jerit Nio, tidak, sepertinya Zio.

"Ada apa?" Aku bertanya dengan masih menggoreng telur yang sebentar lagi matang.

"Ada laba-laba!" pekiknya takut.

"Sebentar, Zio!" jawabku dari dapur.

"Aku Vio!" protesnya.

Aku salah lagi.

"Ah, iya, kau Vio. Biarkan laba-labanya pergi. Akan bagus jika aku digigit, barangkali berubah jadi Spiderman," kataku, mulai mengkhayal.

Setelah kumatikan kompor, berlari menghampiri Vio. Dia masih berjongkok melihat laba-laba kecil di sudut meja.

"Itu sangat kecil, bagaimana bisa kau anggap itu laba-laba. Bahkan upilmu bisa lebih besar dari ini," kataku setelah melihat laba-labanya.

"Tapi aku takut, dia akan memakan kita!" ujarnya menjerit dan akhirnya bersembunyi di balik punggungku. Menaiki punggungku untuk digendong.

Sepertinya ini trik baru minta gendong.

"Apa aku harus membunuhnya?" Vio tampak bingung menanggapi pertanyaanku.

"Kau usil dia saja," jawabnya.

Baiklah, anakku takut pada bayi laba-laba, padahal anakku lebih mengerikan dari pada mereka. Aku pindahkan hewan kecil itu dengan tangan, kubuang lewat jendela apartemen.

"Kenapa Papa buang dia sepelti buang upil? Dia tidak bisa telbang, Papa!" Vio protes, menghawatirkan laba-laba kecilnya.

Lalu aku harus apa? Menggendongnya dan membawanya ke penangkaran?

"Dia Spiderman, dia bisa loncat kemana pun mereka mau dengan jaring," jelasku tetapi Vio bergeleng.

"Balangkali dia seolang gadis, dia tidak bisa telbang," kata Vio, membuatku menjambak rambut sendiri. Jika rambut Nenek yang aku jambak, lain ceritanya.

Belum selesai urusan dengan Vio, tiba-tiba apartemen mendapat tamu. Saat aku cek, dia bukan tamu—tetapi penjaga keamanan di apartemen kami.

Wajahnya merah, napasnya seperti akan segera putus. Aku tebak Bapak ini tidak pakai lift saat kemari.

"Ada banyak wanita di depan gedung. Apa kau mengundang mereka?" tanya pria berseragam ini.

Aku cengo, "Wanita apa? Banyak? Aku bahkan tidak mengerti," jawabku bingung.

"Cepat kau cek, mereka amat sangat rusuh seperti bonek," ujarnya, dan aku mengangguk mengerti.

Selepas pria penjaga keamanan itu pergi, aku melihat dari jendela kaca. Benar, banyak wanita di sana, amat banyak hingga aku bisa menghitung tiga biji. Apa itu banyak? Kenapa pria penjaga itu berlebihan sekali. Hanya tiga wanita dia bilang banyak.

"Mereka sedang apa? Kenapa membawa spanduk?"

Belum aku ketahui alasan para wanita itu datang, akhirnya telepon mengalihkan perhatianku. Mama menelepon, tentu aku angkat.

"Berapa banyak wanita yang datang? Apa kau sudah melihat usahaku?"

Ternyata ini ulah Mama. Demi Tuhan, apa yang Mama lakukan lagi kali ini.

"Iya aku melihatnya dengan mata kepala dan mata kakiku. Hingga mataku semua bergetar. Apa yang kau lakukan, Ma?"

"Jawab saja, ada berapa yang datang dan apa mereka cantik?"

Karena memaksa, akhirnya aku melihat lagi keadaan di luar dengan berdiri dekat jendela.

"Ada tiga orang, yang satu bawa spanduk. Tubuhnya besar, tangannya memakai kaos tangan, sepertinya dia bekerja di pasar ikan. Yang dua lainnya ibu-ibu-"

"Sungguh, hanya tiga? Apa kau tidak selaku ini, Al? Aku sudah bersusah payah menyebar brosur mencari jodoh, kenapa hasilnya begitu mengenaskan," gerutu Mama dari sebrang.

Brosur? Aku sudah disamakan dengan dagangan oleh Mama. Penasaran, aku meminta Mama mengirim brosur itu lewat surel setelah mematikan telepon.

•••••

TBC
Bakal double up terus ya

Spam komen apa aja selain next
Biar aku tersedak

Lanjut guys

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now