BIF 28

8.3K 1.7K 104
                                    

Kini, aku tengah menangis keras seraya mencium kaki Mama, lalu mencium kaki Papa. Aku memeluk keduanya sembari menangis.

"Maafkan kesalahanku, Ma, Pa. Aku banyak berdosa." Aku kembali bersimpuh di lantai.

"Kenapa kau meminta maaf? Kenapa tidak tunggu sampai lebaran?" tanya Papa heran.

"Apa sudah menyadari betapa berdosanya dirimu? Ck, ck, ck, begitulah seharusnya," ujar Mama.

Mereka sama sekali tidak peduli tentang maaf yang tulus ini.

"Kau minta maaf karena belum menikah, ditambah diaremu itu, belum lagi saat kau menjadi waria, lalu dosa lama-"

"Mama, aku akan segera meninggal!" potongku saat Mama malah mengabsen perilaku dosaku.

Kedua orang tua itu malah terbahak bersama, membuatku cengo. Kesal sendiri karena tidak dipercaya.

"Lihat anakmu, dia semakin tidak waras," tutur Mama pada Papa yang masih tersisa tawanya.

"Aku serius!" aduku begitu frustasi.

Shelin datang, segera aku memeluknya. Meminta maaf atas dosaku padanya, meminta maaf karena lancang melangkahinya dulu.

"Aku akan segera mati, Kak. Ucapkan sesuatu untukku." Aku begitu sedih.

Shelin malah terkekeh mendengarnya. "Drama apa ini? Kematian duda keren apartemen? Kau sangat kekanakan, Al," celanya, tidak mempercayaiku dan malah berjalan untuk duduk.

"Aku akan benar-benar tiada, tapi tidak satu pun dari kalian merasa sedih?" protesku putus asa.

Nio dan Zio tengah dipangku oleh Kakek dan neneknya. Sedangkan Vio kini dipangku Shelin.

"Semalam aku mimpi menikah, itu tandanya aku akan segera mati bukan?" aduku, kembali menangis keras.

Bukan menenangkanku, mereka semua malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan anakku ikut tertawa, meski tawa mereka tampak hanya meniru.

"Kau percaya hal seperti itu? Itu hanya mimpi yang datang dari setan," jelas Shelin, berdecak dan bergeleng heran.

"Tapi itu nyata, kan? Aku akan benar-benar mati?" tanyaku, masih takut.

"Semua orang akan mati, begitu juga kami. Kapan pun itu, mimpi menikah atau tidak, semua akan mati," jelas Mama meyakinkanku.

"Jadi, mimpi itu datang karena setan? Apa setan sudah merasukiku?" tanyaku, masih tidak paham.

"Kabar buruk adalah pemberian setan. Bukan berarti setan merasukimu," jelas Shelin, geram hingga memukul kepalaku pelan.

Aku termenung, kenapa setan tidak pernah merasukiku. Apa jangan-jangan aku setannya? Satu sisi aku amat bahagia, tetapi sisi lain aku masih merasa takut.

Tunggu, bagaimana dengan mimpi malam pertama? Jika aku cerita, aku malu pada Papa. Itu sama saja membuka aib sendiri.

"Siapa wanita yang kau nikahi dalam mimpimu? Barangkali bisa kau nikahi sungguhan," ujar Mama, langsung antusias jika mengenai pernikahan.

"Mana aku tahu, wajahnya rata seperti foto yang terlalu banyak editan."

Shelin langsung terbahak mendengar jawabanku. Begitu juga Papa, kecuali Mama yang menatapku kecewa.

Aku memang pria malang.

••••

Selepas pulang dari rumah orang tuaku. Aku mampir ke tempat Andra bekerja. Kafe langganan kami, dan di sini telah berkumpul Evano dan Zidan.

Because I'm Father (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora