BIF 38

7.4K 1.5K 63
                                    

Sebelum itu, aku titipkan kedua monster yang lain pada Andra dan yang lainnya. Barulah aku berlari kecil, sambil mengawasi pergerakan Vio. Anak itu terlihat tertarik pada patung kepala yang terbuat dari tanah liat, dan mulai meraihnya.

Jarak kami masih jauh, aku tidak mungkin berlari dan memancing perhatian para tamu. Hanya bisa berusaha jalan cepat, tetapi tetap elegan. Semakin aku dekat, anak itu sudah meraih hidung patung, dan membuat jantungku berpacu dengan melodi. Hingga akhirnya, BRAK, jatuh.

Aku berhenti, menoleh ke belakang, lalu menoleh pada Vio yang tampak bingung dan bersalah. Aku menghela napas, ingin aku bawa anak itu pergi secepatnya sebelum Mama tahu, tetapi, semua orang tengah menatap Vio. Nyaliku bahkan ciut untuk menghampiri anakku dan menyelamatkannya.

Beberapa tamu menatapku, dan aku menanggapinya dengan senyum kaku.

"Aku tidak mengenalnya. Dia bukan anakku," ujarku bergeleng.

Namun, dari kejauhan Mama memberiku kode untuk menyingkirkan anakku. Baiklah, semua orang akan tahu kalau si pembuat kekacauan ini anakku. Memang anakku sih. Malang sekali anak itu.

Akhirnya, aku hampiri Vio yang masih terdiam, sesaat wajahnya tampak bersalah, tetapi berubah saat aku datang. Dia malah memungut pecahan patung lalu pura-pura melemparnya lagi ke lantai.

"Patungnya sudah lapuh," ujarnya, padahal belum aku tanya apa pun.

Tanpa raut wajah marah, aku gendong Vio. Membawanya ke tempat yang aman.

"Tadi patungnya jatuh, aku yang menyentuhnya," adunya mengaku.

Aku tersenyum, sebenarnya menahan marah. "Anak baik, jangan lakukan itu atau kau akan melihatku berubah menjadi perkedel," ujarku.

Tahu rasanya menahan marah? Tanganku mengepal, ingin meninju sesuatu, mulutku ingin mengoceh, ingin mengamuk, tetapi akhirnya semua hanya terasa sesak di dada.

Beruntung, tingkah lucu para Monster selalu mampu mengobati amarahku menjadi rasa bahagia. Kalau tidak, aku akan uninstal mereka sebagai anakku.

Sungguh! Kalau bisa.

Setelah membawa si pengacau ke dalam dekapan dan pangkuanku, Mama menghampiri. Aku pasang badan, melindungi putraku.

"Anak baik, kau tidak apa-apa?" tanya Mama mengelus kepala Vio. Ternyata menghawatirkan monster itu, aku sudah berprasangka buruk saja.

Dosaku menjadi bertambah satu. Dosa Alden turunlah empat, tambah satu jadilah lima.

"Aku baik-baik saja, Nek," jawab Vio, tentu aku yang harus menanggung dosanya.

"Jangan biarkan itu terjadi lagi, atau aku akan kehilangan harga diriku karenamu," ujar Mama, sudah ditebak akan menyemprotku.

"Aku akan menjual harga diriku di Toko Pedia, apa masih laku?" Aku bertanya pada ketiga sahabatku setelah Mama pergi.

Kini, ketiga lelaki itu malah tertawa menanggapinya. "Kau semakin tidak waras," ujar Andra bergeleng heran.

Bukankah mereka tahu, semenjak memiliki anak aku sudah tidak waras.

"Jika aku masih waras setelah apa yang aku lalui, itu adalah salah satu tujuh keajaiban dunia," balasku, kini tawa mereka semakin kencang, dan itu merusak situasi perasaanku.

"Papa tidak teltolong," ujar Vio bergeleng miris. Ekspresi wajahnya sangat menggangguku.

Kini, aku melihat Shelin yang menyalami semua tamu, karena resepsi langsung berlanjut satu hari. Dulu aku juga pernah merasakannya.

Duduk berdua dengan istriku, menjadi pangeran dan bidadari semalam bersamanya. Nuansa sakral begitu kami rasakan saat itu, tersenyum bahagia, canda tawa di atas pelaminan. Kami menjadi pusat segalanya kala itu, masih sangat muda.

Setelah menikah, kami amat bahagia menjalani hari-hari. Bahkan, tidak ada kata pedih dalam waktu yang kami lewati bersama. Menikah dengannya adalah mimpi yang terwujud, bahagianya tiada tara. Namun, kehilangannya juga mimpi yang tidak aku harapkan, karena pedihnya tiada tandingan.

Aku tidak bisa menyalahkannya, karena sekali saja menyalahkannya itu akan membuatku semakin terluka, dan hal paling buruk adalah karena aku menyalahkan diri sendiri selama ini. Namun, itu terlambat, ketika orang yang merasa kita sakiti telah tiada. Kenyataan pahitnya adalah, aku bahkan tidak bisa meminta maaf barang satu kali. Itu semakin menyiksaku, aku tidak bisa meringankan beban ini. Setidaknya melihatnya hidup itu sudah cukup membantuku.

Masih dalam keadaan melamun, tangan seseorang mendorong kepalaku, menyadarkan.

"Kau tidak mau memberiku selamat?" tanyanya dengan gaun yang memenuhi jalan.

"Kak, kau itu pengantin, tidak seharusnya turun dari pelaminan," protesku melihat tingkahnya.

"Memangnya pengantin tidak boleh pergi ke toilet untuk panggilan alam? Kau ingin aku mengompol?"  Shelin mencebikkan bibirnya.

"Baiklah, selamat, aku berbagia untukmu," ujarku, setengah tidak ikhlas.

Kini Shelin berdecak mendengar ucapanku yang terdengar tidak dari hati.

"Pelemparan bunga nanti akan aku berikan padamu, agar kau cepat menyusulku. Titik." Setelah mengucapkan itu, dia mencium ketiga anakku, barulah kembali ke asalnya.

Tanganku tiba-tiba gatal, ingin meninju sesuatu. Akhirnya, aku hanya meninju udara untuk pelampiasanku.

••••

Btw, alhamdulilah Shelin udah nikah akhirnya. Udah gak jomblo lagi.

Alden senengnya gak dipertontonkan 😂
Doakan Alden nyusul

PLAGIAT BISA LAHIR DARI PEMBACA SETIA
Akhir-akhir ini banyak plagiator
Kalau sampai kalian salah satunya
Apalagi cerita yang kutulis 2018 ini jadi korban
KAMU TIDAK AKAN SELAMAT DARIKU
Peringatan!!

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now