BIF 43

10K 1.4K 48
                                    

Menular

"Uhuk, uhuk."

Untuk kesekian kalinya, aku menatap anak kedua. Entah berapa kali aku mengingatkannya, jika batuk harus menutup mulutnya, setidaknya agar air liurnya tidak loncat ke wajahku. Namun, anak ini terus mengulanginya.

"Maaf, aku tidak–uhuk, uhuk." Zio kembali terbatuk, takut jika menular pada Kakak dan adiknya, aku meminta agar tidak batuk di hadapan saudara kembarnya.

"Apa sangat gatal?" Aku bertanya seraya mengelus lehernya.

Sejak semalam anak ini terus terbatuk hingga sulit tidur, membuatku ikut terjaga.

"Apa Papa bisa menggaluknya? Sangat gatal, aku telus batuk. Galuk dengan galpu taman bisa?" Aku menepuk dahiku mendengar penuturannya.

Garpu taman? Sungguh, garpu makan saja tidak bisa masuk ke mulutnya, bagaimana bisa garpu taman.

"Uhuk, uhuk!"

Kali ini tampak sekali dia sengaja batuk di wajahku. Bahkan, kekehannya menjadi barang bukti kalau dia sengaja.

Zio kembali sengaja terbatuk, bahkan mengulangnya berkali-kali dengan tawa jahilnya. Saat aku tegur, dia semakin mengerjaiku dengan batuk yang dipaksa.

"Berhenti lakukan itu, anak nakal!" Aku mengangkat tubuhnya, dan aku tidurkan di sofa, tetapi Zio malah tertawa melihat wajahku yang marah.

Anak itu kembali sengaja batuk, terdengar sekali sengaja. Aku takut anak itu melukai tenggorokannya jika terus menjahiliku begini.

Mendengar tawanya yang tampak senang, wajahku menjadi tidak bisa serius, ikut terkekeh dan sebisa mungkin menahan tawaku. Tidak ingin membuatnya makin jahil, aku berdiri.

"Tunggu sini, akan aku ambilkan obat untukmu." Aku berlari ke dapur, mengambil obat yang kubeli tadi pagi.

"Aku tidak mau minum obat!" Zio menangis saat melihatku membawa obat.

Sebentar lagi perang akan dimulai. Kedua saudaranya menjadi mendekat, dan melihat saudara mereka yang tengah menangis histeris. Entah hendak menolong saudaranya, atau hanya akan menonton drama kali ini.

"Ini tidak pahit, sungguh, aku bersumpah demi celana dalam Spongebob," ujarku menuangkan obat sirup ke sendok, bersiap untuk menyuapkan pada anak keduaku.

Namun, tangis Zio masih menggema. Anak itu sepertinya merasa takut jika obatnya pahit. Hingga kedua saudaranya mendekat dan menenangkannya.

"Jangan menangis, tidak apa-apa." Vio mengelap air mata Zio dengan asal, hampir saja jari mungilnya mencolok mata kakaknya itu. Beruntung tidak terjadi, lalu Vio kembali sibuk dengan mainannya setelah memberi sedikit semangat.

"Kenapa kau telus menangis, Zio? Jangan menangis."

Kini, giliran Nio yang mendekati Zio untuk menenangkannya.

Namun, sepertinya belum berhasil, karena tangisan Zio masih keras. Menendang-nendang agar aku tidak mendekatinya.

"Hidupku lebih pahit, sungguh ini manis dengan rasa stoberi."

Setelah mendengar kata stoberi, Zio akhirnya kembali duduk, sedikit terisak tetapi lebih tenang.

Ternyata stroberi lebih menarik dari pada sembuh baginya. Setelah kubujuk dengan jurus Ninjutsu, akhirnya mulutnya terbuka, dengan cepat dan hati-hati aku tuangkan sirup itu, dan yes, tertelan.

Namun, Zio langsung menangis kembali, membuatku heran. Aku berani bersumpah di depan raja hutan jika obat ini manis.

"Kenapa kau menangis?"

"Papa bilang ini lasa stlobeli, ini lasa jeluk!" protesnya mengoreksi obat sirup yang baru saja dia telan.

"Benarkah? Mungkin aku salah baca. Sudah, tidak perlu menangis, seperti ditinggal pas sayang-sayangnya saja. Jeruk atau stroberi asal manis, kan?" Aku mendengkus melihatnya yang protes.

Dia belum merasakan bagaimana ditinggalkan saat sayang-sayangnya. Namun, lebih sakit kalau ditinggal saat seram-seramnya.

"Em, ini enak." Mendengar kata 'enak' dari Zio, mata Nio dan Vio seketika menyala, menatap botol obat yang masih aku pegang dengan tatapan lapar.

"Hei, jangan menatap seperti itu. Ini obat untuk orang sakit, kalian, kan sehat," tuturku menyembunyikan obat itu di belakang punggung.

"Uhuk-uhuk!" Tiba-tiba keduanya terbatuk, jelas sekali jika itu dibuat-buat.

Aku bernapas panjang, mengapa aku harus menghadapi hal seperti ini? Sebenarnya dosa apa yang telah aku lakukan?

"Jangan berpura-pura, itu amat dosa," protesku saat kedua anak itu mendekat dengan batuk mereka yang dibuat-buat.

"Baiklah, sedikit saja." Akhirnya aku mengalah, dan menuangkan setetes obat rasa jeruk itu ke sendok.

Nio lebih dulu mencicipi, dan Vio bagian terakhir, keduanya berteriak heboh dengan menjilat bibir mereka. Buru-buru kusimpan obat itu kembali ke tempatnya, sebelum para monster kecil memintanya lagi.

Apa dulu aku begitu juga saat kecil? Masih menjadi misteri, tiga Monster ini mirip denganku atau Aruna.

~•~•~•~•~

Jangan kaget kalo tiba-tiba ending
Yang minta cepet-cepet update tiba-tiba udah ending gak update lagi, nanti kangen Monster dan Duda ini jadi tersiksa
Muehehehehe

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang