BIF 42

7.9K 1.5K 63
                                    

Setelah orang tuaku pergi, aku menyusul keluar dari rumah. Hari ini aku bertekad ke luar kota, tempat Alisya bertugas. Namun, nyaliku mengkerut saat melihat kantor Alisya bekerja.

Aku berdiri di depan kantor tanpa berniat melewati pagar pembatas. Orang-orang melihatku yang membawa tiga anak sekaligus dengan heran. Padahal aku datang bukan sebagai pengemis. Setelah berdiri sekian lama, aku memutuskan berbalik melangkah pergi.

"Alden!" Langkahku terhenti, dia memanggilku.

Aku dengar bunyi sepatunya semakin dekat, dan mencoba untuk tersenyum dengan bersikap biasa. Akhirnya aku berbalik, melihatnya yang berpakaian seragam Polisi lengkap.

"Kau datang ke sini?" tanya Alisya tersenyum menyambut kami.

Akhirnya aku menurunkan Vio yang di depan, Zio yang di samping, dan akhirnya menurunkan Nio yang aku gendong di belakang. Mereka semua langsung meraih pagar, rumput, patung. Semua mereka raih.

"Bagaimana kabarmu? Kau pergi tanpa pamit," ucapku, membuatnya tersenyum.

"Aku baik-baik saja. Maaf tidak memberitahumu, um?" jawab Alisya, tampak merasa bersalah.

Setelahnya Alisya menghampiri ketiga monster, dan mengajak mereka duduk di teras kantor. Aku menyusul, duduk tak jauh dari mereka, memberi waktu untuk mereka bermain bersama. Alisya tampak merindukan para monster. Gadis itu bermain bersama sambil memakan camilan. Para monster juga tertawa dengan lelucon Alisya.

Aku tidak berani merecoki, lebih tepatnya aku tengah diabaikan, tidak diajak. Malangnya diriku.

Sambil menunggu mereka selesai bermain, aku menatap jalan raya di hadapanku. Memikirkan banyak hal mengenai Alisya. Aku bahkan telah menolak gadis itu, tetapi aku terus menghawatirkannya, dan dia terus saja baik padaku.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Alisya menghampiriku, duduk denganku di lantai.

"Kau. Aku memikirkanmu. Kau akan di sini selamanya? Kapan kau kembali?" Aku bertanya terdengar bergumam.

"Aku akan di sini sampai masa tugasku," jawabnya membuatku kecewa.

Aku berharap dia tidak jauh dariku, karena dia sendirian di dunia ini. Tanpa pelindung, tanpa pendukung.

"Jangan hawatirkan aku, Alden. Apa aku boleh memanggilmu Alden?" tanyanya dan aku mengangguk. Jika dia memanggilku dengan sebutan 'Kak', aku tampak seperti kakaknya.

Tunggu, artinya dia? Sudahlah.

Beberapa menit kami saling diam. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Namun, aku berpikir, apa dia akan baik-baik saja? Apa dia akan hidup dengan nyaman? Apa ada yang bisa aku bantu? Apa dia ingin aku membantunya tentang sesuatu? Ingin sekali aku tanyakan. Namun, sangat sulit.

Tiba-tiba datang seorang Polisi berseragam. Pria bertubuh tegap itu mendekati Alisya.

"Kau anggota baru itu? Senang bertemu denganmu," ujar lelaki itu membuatku memperhatikan dua orang yang kini sama-sama tersenyum. Seolah aku tidak ada di sini.

Saat Polisi itu mengajak bersalaman dengan Alisya, aku segera menangkis tangannya. Terkejut? Pasti, aku pun terkejut dengan tindakanku sendiri.

"Dia milikku."

Kami semua terkejut, termasuk diriku.
Sungguh, bibirku mengatakan sesuatu tanpa sempat aku filter. Alisya tampak memandangku, tetapi aku menatap pria muda yang sepertinya membuatku tidak menyukainya tanpa alasan.

"Bukan, maksudku mana boleh salam-salaman seperti itu. Ini bukan lebaran."  Aku tertawa kriuk.

Setelah sempat tertawa renyah, anggota Polisi itu pamit undur diri. Sedangkan aku menjadi diam seribu bahasa setelah kepergiannya.

Kini, aku menatap Alisya. Aku rasa hari ini cukup sampai sini saja kebodohannya.

"Hei, kalau mau makan, mau ke kamar mandi, mau tidur, kabari aku. Ini perintah!" ujarku yang entah dari mana asal muasal ide itu.

Sebenernya setan apa yang menyukai Alisya dan masuk dalam tubuhku.

Alisya tampak tersenyum geli. "Apa itu harus?"

"Tidak! Tentu saja tidak, itu bercanda." Aku kembali melempar senyum dan lagi-lagi tidak ditangkap.

"Kakak, kau akan pulang belsama kami?" tanya Vio meraih tangan Alisya, seolah mengajaknya pergi bersama.

"Aku akan tetap di sini," jawab Alisya mengacak rambut Vio gemas.

"Baiklah, kami akan menunggumu di lumah," ujar Nio yang menggandeng Zio.

Aku berdiri, menatap Alisya gelisah. Sulit meninggalkannya di sini.

"Aku akan menunggumu. Terlepas aku akan mencintai orang lain, atau kau bersama orang lain suatu hari. Aku akan tetap menunggu, sembari menyelesaikan tugasku," ujar Alisya, dan itu semakin membuatku gelisah dan terbebani.

Baiklah, aku akui, sepertinya aku ingin dia di dekatku. Sisi lain, para Monster tidak mudah menerima hal itu. Mereka terbiasa memanggilku saat menangis, terbiasa bangun tidur melihatku, terbiasa dengan segala tentangku, jika ada orang lain di rumah, aku belum bisa menjelaskannya.

"Tunggu aku, jangan berpaling. Aku akan menjemputmu jika sudah waktunya. Jika para monster sudah mampu memahami, tunggu beberapa tahun lagi. Kini, mereka baru tiga tahun setengah. Bisakah kau mengerti?"

Seandainya semudah itu. Akan aku katakan padanya saat ini juga. Namun, aku tidak ingin membuatnya menunggu, membuatnya berharap. Aku tidak ingin membuatnya kesulitan dengan menungguku.

"Jaga dirimu," ujarku. Akhirnya melangkah pergi bersama ketiga putraku.

Aku berbalik, hanya untuk terakhir kali saja, aku menatapnya dalam. Dengan penuh perasaanku yang tidak dapat diartikan.

Sampai bertemu di waktu yang akan datang, Alisya.

~~~~

Btw, makasih yang udah ikut rekomendasikan BIF. Aku gak bisa bales apa-apa.
Aku kasih lope aja ya  ♥️
Sayang banyak-banyak

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now