BIF 36

6.7K 1.5K 41
                                    

Sesampainya di rumah orang tuaku. Aku menidurkan Vio, dan kedua anakku lainnya sudah bermain dengan kakeknya di belakang rumah.

Aku melihat Shelin dan Mama tengah bersantai di sofa, sembari melihat Nio, Zio dan papaku dari kejauhan.

"Shelin, Al, pijit kakiku," titah Mama.

Bahkan aku belum sempat istirahat sejenak. Mama sudah menyuruhku memijitnya. Harusnya aku yang mendapat pijitan. Namun, tidak, tulangku akan remuk semua jika dipijit.

Akhirnya, aku dan Shelin memijit kaki Mama bersama.

"Jika saja surga tidak ada di kaki Ibu, sumpah aku akan pingsan sekarang." Aku berujar dan mendapat pelototan dari Mama.

Shelin hanya tampak menahan tawanya, sembari terus memijit. "Berapa tahun Mama tidak cuci kaki? Aku tidak ingin berdosa, meski bau, aku akan tetap mencium kakimu agar masuk surga," ujarku, kali ini membuat tawa Shelin terlepas.

Memancing Mama untuk memukulnya. "Harusnya Alden yang dipukul. Aku tidak melakukan apa pun!" protes Shelin, kesal karena Mama memukulnya bukan aku.

"Tawamu lebih menghinaku dari pada ucapan Alden," jawab Mama enteng.

Aku hanya tersenyum kemenangan. Mungkin Mama menyesal telah memukulku kemarin.

"Al, ada sesuatu yang sebenarnya ingin kami bicarakan. Karena kau anakku juga," tutur Mama membuatku merinding.

Entah apa yang sebenarnya hendak dia ucapkan. Wajah Shelin juga mendadak berubah, aku tidak suka suasana seperti ini. Sangat horor.

"Jangan pingsan seperti waktu itu, ya?" Ucapan Mama benar-benar membuat bulu kudukku meremang.

Memicu jantungku untuk berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Shelin akan menikah minggu depan, dengan pria yang dulu pernah melamarnya," ungkap Mama, dan itu membuatku menatap Shelin sejenak.

Wanita yang aku nobatkan sebagai perawan sejati itu mengangguk, menyetujui pernyataan Mama. Kali ini, aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun.

"Maafkan aku, Al. Foto yang kau lihat itu memang nyata. Aku ke rumahmu saat itu untuk memberitahumu soal pernikahanku, tapi saat melihatmu dan ketiga anakmu, mendadak nyaliku ciut. Aku merasa terluka," ungkap Shelin.

Dia masih saja merasa bersalah tentang nasibku. Kakakku itu masih saja memikirkan aku dan keponakannya. Wanita menyebalkan ini memang tidak punya isi kepala. Hanya memiliki tempurung saja.

"Aku bersyukur, akhirnya salah satu anakku menjadi manusia normal juga," ucap Mama, menyinggungku.

Wah, daebak. Aku memang tidak normal. Mungkin selama ini aku semacam dedemit atau lelembut baginya.

"Aku membeku karena tidak percaya, Kakakku si perawan abadi akhirnya akan melepas masa lajangnya. Selamat Kak, aku bahagia untukmu." Aku memberi ucapan selamat yang tulus.

Sangat tulus sebagai saudara.

"Kau tidak keberatan?" tanya Shelin membuatku terkekeh.

"Berat tubuhku lebih ringan darimu, kenapa aku harus merasa keberatan?" jawabku sekaligus bertanya. Mendadak wajah Shelin berubah merah.

"Kau memang Adik yang paling menjengkelkan. Sudah aku bilang ribuan kali, aku tidaklah gendut!" protesnya tidak terima.

"Percayalah, aku tidak mengataimu," ujarku membela diri.

Shelin langsung mengipasi wajahnya yang terasa panas. Aku masih ingat pria yang dulu melamar kakakku ini. Pria itu bertubuh besar tinggi, aku harap Shelin bahagia setelah ini.

"Kenapa aku harus memiliki Adik sepertinya? Mama lahirkan anak yang lebih baik," ujar Shelin mengadu pada Mama.

"Jika kau bukan Kakakku, sudah aku tukar tambah di Bukalapak." Akhirnya, kepalan Shelin mendarat di kepalaku, dengan sumpah serapahnya dia mulai menarik baju dan rambutku.

"Minta maaf atau tamat?" ancam Shelin.

"Yamahap semakin di depan. Gaspol!" seruku, meminta maaf.

Namun, bukan memaafkanku, Shelin malah semakin ganas.

"Meminta maaflah dengan benar! Kau sebut Yamaha lagi, aku panggil Suzuki," ujarnya setelah melepas kepalaku.

"Kenapa Suzuki?" Aku bertanya karena seperti tidak ada kaitannya.

"Bukankah Suzuki teman Nobita?" tanya Shelin, wajahnya tampak seperti orang bodoh.

"Sizuka, aku rasa itu baru teman Nobita," jawabku, dan Shelin mengangguk. Namun, dia belum memaafkanku. Mendapat ancaman dari matanya, aku memilih berlari ke belakang Mama.

"Selamatkan aku, Ma. Kak Shelin akan mengamuk seperti gorila," aduku pada Mama.

"Apa kalian tidak bisa akur?! Kenapa kalian begitu berisik?" Mama mulai kesal melihat kami yang membuat keributan.

"Kami tidak pernah bertengkar," elak Shelin, mendadak aku mengangguk setuju, dan menjadi sekutu.

"Ini adalah bentuk kasih sayang sebagai saudara, Ma," jelas Shelin.

Aku baru menyadari, kalau dia hanya membela dirinya saja. Tetapi, memang benar bahwa kami bersaudara dengan kasih sayang seperti itu.

"Kasih sayang apa? Kalian terus saja menyakiti satu sama lain!" protes Mama, tidak percaya atas ucapan Shelin.

"Kasih sayang kami tak kasat mata. Percayalah, kami saling menyayangi," ujarku, entah membela siapa.

Shelin menatapku. "Kau pikir kita manusia gaib?" cela Shelin.

Wanita itu tidak bisa setuju dengan ucapanku sekali saja. Beruntung dia kakakku. Jika bukan, aku benar-benar akan menjualnya di Shopee dengan dikson 99% dan bonus gratis ongkir seluruh luar angkasa.

••••

Gratis ongkir ke luar angkasa?
Ada yang mau? 😭

Terima kasih untuk kasih sayang dan cinta yang kalian berikan. Terima kasih dukungannya, semangatnya. 💖

Saranghae my readers

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now