BIF 41

8.4K 1.5K 91
                                    

Hatiku

Hariku seperti tidak pernah berubah. Selalu saja dikelilingi monster kecil yang begitu aktif. Entah dari mana mereka mendapatkan energi itu. Sailor Moon juga pasti bertanya-tanya.

"Papa! Papa!" rengek Nio.

Aku yang tengah bermain ponsel menoleh padanya. Sambil memegang perut, wajah Nio tampak sangat frustasi. Menyadari dia mendapat panggilan darurat, aku melarikannya ke kamar kecil. Aku dudukkan dia setelah melepas celananya.

"Papa, aku melihat Tayo di sana!" ujar Zio menghampiri kami di kamar mandi, memberitahu yang dia lihat.

"Jangan ke sini. Pergilah ke ruang tengah, jaga adikmu!" titahku, dan dia kembali ke ruang tengah dengan berlari kecil.

Aku kembali terfokus pada Nio yang masih berusaha mengeluarkan benda padat itu dari perutnya. Wajahnya begitu merah tiap kali berusaha mendorong sampah untuk keluar.

"Papa, ini sulit," ujarnya tampak menyerah.

Sepertinya dia mengalami sembelit.

"Kau pasti bisa. Pegang tangan Papa," ujarku menyemangatinya. Dia genggam tanganku dengan kuat, dan mencoba percobaan selanjutnya.

"Tarik napas, dorong!" ujarku memerintah.

Dia menurut, kali ini dia tampak lebih kuat mendorong. Wajahnya seperti mau meledak. Hingga aku mendengar 'Cebuk' tanda ada yang jatuh ke air.

"Wah, kau sangat hebat." Aku memujinya agar senang.

"Sepeltinya sangat besal, sebesal kacang polong," ujar Nio setelah merasa lega. Wajahnya kembali cerah.

"Sungguh?Kacang polong sangat kecil," gumamku seraya membersihkan Nio.

"Papa, aku melihat Pololo!" seru Vio datang menghampiriku.

Anak-anak itu tidak bisa diam, padahal sudah aku peringatkan agar tidak masuk kamar mandi jika tengah dipakai.

"Aku bilang jangan pergi ke sini!" Vio malah terbahak sambil berlari menjauh.

Ternyata mereka memang sengaja menggangguku kali ini. Setelah selesai, aku bawa Nio kembali pada saudaranya.

Tidak lama, Mama dan Papa datang. Aku langsung berdiri. Seperti biasa, mereka pasti langsung menghampiri cucunya. Aku hanya menyaksikannya tanpa berniat mengusik.

Namun, Mama menatapku, tiba-tiba dia menangis dan memelukku. Aku terpaku tanpa membalas pelukannya. Merasa aneh.

"Bayiku yang malang, kenapa kau tidak menceritakannya padaku, um? Kenapa kau hadapi nenek sihir itu sendirian? Anakku yang malang," ujarnya menangis dengan terus memelukku.

Sepertinya Shelin telah menceritakan kejadian waktu itu, saat para monster kecil dibawa pergi oleh orang tua mendiang istriku.

"Anakku yang malang. Kau banyak mengalami kesulitan, kau melewati banyak hal. Kenapa kau tidak meminta bantuanku, huh? Oh, anakku!"

Wanita ini terus menangis, dan itu membuatku sangat tersiksa.

"Jangan katakan itu, Ma. Aku baik-baik saja," jawabku serak. Aku mencoba menahan batu besar yang tersangkut di tenggorokanku.

"Tidak, kau sudah mengalami banyak hal sulit tanpa aku. Bayiku yang malang, kenapa kau harus mengalami ini?" ujarnya mengelus kepalaku.

"Lain kali, jangan biarkan nenek sihir itu menyentuhmu atau cucuku. Selagi aku masih hidup, aku akan berdiri paling depan untuk melawan semua orang yang menyakiti anakku … bahkan aku akan membeli apartemen ini jika tetanggamu di sini jahat, akan aku lakukan apa pun!" ujarnya penuh kekesalan setelah melepas pelukanku.

Aku tahu, Mama sangat kesal jika tahu bagaimana yang sebenarnya. Mama bisa saja mengamuk untuk membalasnya. Ah,aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

"Aku baik-baik saja." Aku sudah kehabisan kata untuk menggambarkan situasi hidupku.

"Lain kali beritahu kami. Seharusnya kami ada di sampingmu," ujar Papa yang tengah duduk di sofa.

Aku merasa sangat didukung keluarga. Seharusnya aku bahagia, tetapi kenapa ini membuatku amat sedih. Air mataku keluar meski sudah aku coba tahan. Dadaku terasa sesak melihat kepedulian Mama dan Papa.

"Kau sangat cengeng. Jangan menangis, kau sudah banyak mengeluarkan air mata selama ini," ujar Mama memukul bokongku.

"Aku tidak ingin menangis, tapi air matanya keluar sendiri," jawabku sambil terus membersihkan air mata yang jatuh tanpa permisi.

Beginilah, jika mendapat semangat, kita akan menangis bersama. Jika tidak mendapat semangat dari pihak lain, menangis sendirian.

Seperti kata yang pernah aku baca 'Saat aku lahir, semua orang tersenyum, hanya aku yang menangis. Saat aku mati, semua orang menangis, hanya aku yang tersenyum' entah apa hubungannya dengan ini, hanya ingin mengutarakannya saja.

Mendadak, aku ingin mengambil foto bersama. Sekedar untuk mencatat, hari di mana Papa dan Mama menghawatirkanku.

"Ayo ambil foto, kita jarang foto bersama," ujarku menyalakan ponsel.

Kami berkumpul, meski tetap saja, para monster berebut posisi dan membuat ini menjadi lama. Setelah mereka dipangku oleh kami, aku menyalakan kamera.

"Tu-wa-bang-ka!"

Aku mendadak terdiam. Menyadari bahwa ada kesalahan teknis pada lidahku. Aku menoleh pada kedua orang tuaku yang duduk di belakangku.

"Maksudku, tu-wa-ga-mpat," koreksiku membela diri. Meski dua orang yang duduk di sofa itu tidak protes.

Aku menelan ludah sebelum memulainya kembali. Takut, jika lidahku akan mengalami keseleo, padahal tidak punya tulang. Setelah mengambil satu bidikan, para monster langsung berpencar, padahal aku belum mendapat foto yang sempurna.

~~~~

Heyoo
Udah ke dunia nyata belum ngakaknya?

Btw, kalau komen boleh dong jangan KASAR atau bahasa KOTOR.
Yuk bisa yuk

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now