1. BIF

99.2K 8.6K 1.4K
                                    

Bukan pertama

Pertama-tama aku akan mengenalkan namaku. Namaku Alden Alisano, aku seorang Ayah muda, dan sudah duda, muda dan duda.

Aish miris sekali.

Umurku 27 tahun, aku menikah di usia 22. Tapi, aku kehilangan istriku. Aku tak mau menyebut namanya, karena itu akan membuatku terluka dengan peninggalan yang dia berikan padaku. Bukan hanya kenangan yang dia tinggalkan, tapi keturunan kami, buah cinta kami. Ya, anakku tentunya, si kembar tiga.

Nio Alisano, Zio Alisano, Vio Alisano.

Tumben aku ingat, biasanya aku lupa urutannya.

Mereka adalah anak kesayanganku, istriku meninggal setelah melahirkan ketiga anak kembarku. Tentu hanya anakku, karena kenyataannya mendiang istriku tidak ingin merawat mereka bersamaku.

Jadilah aku di sini, terjebak dalam apartement bersama ketiga anak kembarku. Apa aku kesal?

Tidak sama sekali! Tapi aku gila, karena aku seorang laki-laki yang harus merawat tiga anak sekaligus tanpa seorang pembantu. Kenapa? Karena aku tidak percaya pada orang lain, aku terlalu menyayangi ketiga monster kecil itu, dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga mereka. Para io-ku. Io, panggilan untuk mereka, dengan menghilangkan huruf awal nama mereka.

"Papa! Papa!" teriak kencang Vio.

Tunggu! Dia Zio atau Vio?
Yang jelas dia salah satu putraku.

"Kenapa? Apa ada yang salah?" tanyaku menunduk karena ketiga anak kembarku terlalu pendek.

Mereka baru berusia tiga setengah tahun, bayangkan saja jika kau mampu, aku harus merawat semua hal untuk mereka seorang diri.

"Kak Zio mengambil susuku!" teriaknya menunjuk pada Zio yang asik menyedot susunya.

Baiklah, ini bukan pertama kalinya terjadi, setiap hari ini terjadi, seharusnya aku tidak perlu marah.

"Zio, jangan lakukan itu pada adikmu, emm? Berikan susunya dan minum susumu," kataku sambil terus mengancing kemeja.

"PAPA!" teriaknya lagi yang kali ini bisa membuat gendang telingaku terasa bocor.

"Kenapa? Astaga!"

Aku terbelalak, dan Vio mulai menangis, sedangkan Zio hanya berdiri dengan tersenyum tanpa dosa. Sedangkan Nio — dia menatapku yang ingin marah, jadi aku mengurungkan niatku untuk marah, karena aku tidak mau mereka melihat amarahku.

"Baiklah … Zio, kenapa kau lakukan itu?"

"Huaaaaaaaaa!" tangis Vio membuatku makin frustasi dan memilih  menjambak rambutku sendiri.

"Baiklah, baiklah! Mari kita ganti bajumu Vio. Tidak perlu menangis, oke?" Aku membopong tubuh kecil putra bungsuku.

"Nio bisa kau bantu Papa membersihkan sofanya? Papa mohon! Vio harus berganti pakaian!" seruku terus berjalan ke kamar mandi.

"Iya!" jawabnya masih bisa aku dengar.

Nio adalah anak pertama yang terlahir ke dunia fana ini, dia cukup dewasa dari kedua saudaranya. Mungkin dia kasihan padaku, maka dari itu dia tidak penah jadi biang kerok seperti kedua adiknya, yang setiap hari nyaris membuatku terkena hipertensi.

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now