BIF 32

7.2K 1.5K 40
                                    

Aku lihat brosur dengan seksama. Warnanya kuning, dari background saja tidak menarik. Kenapa harus kuning busuk begini, orang akan mengira ini sesuatu yang lonjong mengambang di empang.

Fotoku bersama para monster menjadi hiasan paling keren, tetapi, menjadi jelek saat wajahku dan Nio sedikit terpotong.

Demi Tuhan, di mana Mama mencetak brosur sejelek ini. Setidaknya buatlah brosur yang menarik. Mana ada anak muda mau melihat ini, semua akan jijik pada waktunya.

Aku tatap ketiga monster yang tengah main bersama. "Lihatlah apa yang nenek kalian lakukan," gumamku, benar-benar tidak mengerti lagi.

Tiba-tiba pintu apartemen dibuka hingga berbunyi keras, membuat ketiga monster berlari menghampiriku karena terkejut.

Shelin, wanita itu yang datang. "Apa kau gorila? Buka pintu dengan benar. Kau mau merusak pintuku?" Aku memprotesnya, dan melihatnya terengah persis seperti petugas keamanan.

"Di depan, kenapa mereka meneriakan namamu? Di luar sangat rusuh, Al. Lakukan sesuatu! Apa kau menjabat sebagai raja setan?" paniknya, aku hanya terkekeh geli.

"Matamu rabun seperti penjaga tadi, hanya tiga orang kau bilang rusuh?" Aku tertawa sumbang.

"Tiga? Aku bersumpah, ada banyak ibu-ibu. Kau seperti barang diskonan yang dikejar para ibu," jelas Shelin membuatku terkejut.

"Sungguh? Aku lihat hanya tiga." Aku memberi penjelasan atas penglihatanku.

"Kau memang, ish." Shelin mencubitku, hingga membuatku berteriak.

"Bibi, jangan mencubitnya. Tubuh Papa sangat sensitif sepelti hatinya," bela Nio tidak terima aku disiksa.

"Ah, aku tidak mencubitnya, kau salah lihat." Shelin mengelak, berbohong agar tidak diserang para monster.

Kami pun melihat para ibu-ibu itu dari jendela, menatapnya miris. "Kenapa tidak ada yang muda satu pun. Malang sekali Adikku ini jika menikah dengan salah satunya," kata Shelin, membuatku tersinggung.

"Bisa kau usir mereka? Katakan kau istriku, katakan apa saja asal mereka pergi dari sini," pintaku agar Shelin mengusir lalat hijau di depan sana.

"Al, menyerahlah. Lebih baik kau menikah secepatnya, atau mama akan semakin menggila," bujuknya. Kali ini dia tampak serius.

Kami pun duduk dekat jendela. Wajah kami berubah drastis, seperti baru saja ditagih hutang.

"Kenapa bukan kau yang menyerah? Kenapa aku? Jika kau menikah, mama akan senang dan tidak mengangguku lagi." Setelah sekian lama diam aku baru menjawab.

Shelin membuang napas panjang, pundaknya melemah. Aku tebak, dia juga mengalami banyak kesulitan.

"Kau tahu sendiri, kenyataan ini pahit. Cepat lupakan Aruna, tidak baik terus mencintai atau menyalahkan dirimu. Kau terus menyakiti diri dengan hidup begini, Al." Wanita ini pandai menasihati, padahal hidupnya tidak jauh berbeda dariku.

"Lalu, aku harus menikah dan berbahagia? Aku merasa sebagai pembunuh selama ini. Aku membunuh Aruna lewat anak-anakku. Jadi, biarkan aku menebusnya dengan menghabiskan hidupku untuk mereka. Mungkin itu akan membuat Aruna tidak membenciku," kataku membuat Shelin menangis.

Ini pertama kalinya aku mengatakan apa yang aku simpan selama ini. Apa yang menjadikanku Alden sekarang.

"Apa kau akan menghukum dirimu? Bahkan Tuhan tidak merelakan itu. Jangan bersikap idiot, Al!" Shelin mengguncang tubuhku.

"Lalu aku harus melupakannya? Melupakan dan melepaskan tidak secepat saat mencintai," kataku masih bersikeras.

"Lepaskan perlahan. Aku tidak memaksamu untuk lupa, karena itu sulit. Tapi bisa, kan?"

"Sampai mulutmu berbisa, nasihatmu tidak akan berguna," ujarku, seketika sifat asli Shelin kembali.

Dia memukulku, tidak keras. "Berbusa maksudnya," ulangku membenarkan kata.

"Apa aku harus hilang ingatan? Dengan begitu aku lupa sudah menikah, lupa sudah memiliki anak, lupa telah membunuh Aruna, dan lupa kalau aku adalah Alden si payah dan idiot," gumamku.

Shelin mengelus kepalaku, aku harap dia tidak habis mengupil sebelumnya.

"Kenapa aku bisa punya Adik seidiot ini?" gumam Shelin, masih mengelus kepalaku.

"Kenapa juga aku bisa punya Kakak selaknat ini?" balasku, seketika tangannya yang tadi mengelusku kini beralih mendorong kepalaku.

"Bosan hidup, ya?" bentaknya.

Dia memang kakakku, sekaligus teman bertengkar, teman curhat, teman berbagi duka. Namun, jangan berpikir kami bertukar kancut, itu akan terjadi jika kami sesama jenis.

••••

Banyakin istigfar kalo baca cerita ini ya guys

Jangan lupa ajakin temen buat baca juga.

Jangan lupa juga buat jejak, karena apresiasi apa yang kalian suka itu wajib.

GIMANA PART INI?

Because I'm Father (END)Where stories live. Discover now