BIF 37

6.4K 1.4K 34
                                    

Akad

Tidak aku sangka, hari ini pernikahan Shelin benar-benar terlaksana. Aku bahkan tidak menyangka hari ini akan tiba.

Kini, mempelai wanita itu tampak cantik dan anggun dengan gaun putihnya. Baiklah, kakakku tampak cantik hanya hari ini, tertolong dengan foundation setebal dua senti. Mempelai pria juga tidak kalah tampan, sudah serasi dengan kakakku.

Akad hampir dimulai. Di sampingku sudah ada Evano, Zidan dan Andra. Zidan dan Andra memangku kedua anakku. Sedangkan Zio memilih bersamaku. Kami duduk tidak jauh dari tempat akad. Duduk paling depan sebagai anggota keluarga.

Beberapa kali, aku lihat Shelin yang telah duduk di sana menyentuh gaunnya, tidak bisa diam. Aku menjadi gatal ingin menghampirinya dan memarahinya. Apa dia sudah tidak tahan di sana?

"Papa, aku mendapat panggilan alam," ujar Zio, menatapku dengan mata setengah menyipit.

"Ya sudah, cepat angkat sebelum dimatikan." Mendapat jawaban dariku, Zio menggembungkan pipinya membuatku terkekeh geli.

"Pipis saja, kau sudah pakai popok," bisikku, agar tidak mengganggu acara sakral ini.

Akhirnya Zio mengangguk, turun dari kursi dan jongkok. Aku sedikit terkejut, sambil berharap dia tidak buang air kecil bersama dengan ampasnya.

"Papa, aku sudah selesai," adunya lalu kembali duduk, dan aku mengelusnya dengan pujian.

Kami semua memakai jas hitam dan kemeja putih. Ketiga anakku memakai dasi kupu-kupu kesukaan mereka. Sangat menggemaskan.

Setelah sekian lama menanti, akad akhirnya dimulai, kami semua terdiam menghayati suasana sakral ini.

Aku tengok Zio, dia menatapku lalu tersenyum. Tidak, lebih tepatnya menyeringai, karena senyumannya tampak menyeramkan. Semoga dia tidak berencana membuat kekacauan hari ini.

Saat akad selesai, aku bernapas lega. Akhirnya Shelin tidak akan perawan lagi, dan Zio masih diam di tempat. Kakakku, dia sangat bahagia hari ini, sama seperti kami semua. Seperti kedua orang tua kami yang sampai meneteskan air mata.

Kini, tamu pun mulai berpencar, mengambil makanan yang mereka suka. Acara hari ini digelar di dalam gedung, tentu milik teman Papa, agar sewanya tidak terlalu mahal.

Kami semua pun ikut menikmati hidangan. Bahkan si kembar sudah duduk di mejanya dengan khidmat.

"Kita tuan rumah, kenapa kalian bersikap seperti tamu undangan?" protesku tanpa disahuti ketiga Monster kecil itu.

"Mereka lebih suka makan dari pada mendengarkanmu, Al," sahut Evano terkekeh.

Aku mendengkus menanggapinya. Melihat ketiga anakku, mereka memang memiliki selera makan yang tinggi, itu alasan pipi bakpao mereka terlihat menggemaskan, tetapi mereka bersikap seolah tidak pernah diberi makan. Ini memalukan untukku.

"Berapa tahun kalian tidak makan, huh? Pelan-pelan, tidak akan ada yang meminta makanan kalian." Aku masih sibuk mengurus makanan si kembar. Wajah mereka sudah kotor dengan cokelat dari cake.

Perhatianku akhirnya teralihkan, mengingat nasib Alisya setelah ibunya tiada. Aku tidak tahu bagaimana gadis itu akan melanjutkan hidupnya sendirian.

Kadang, aku berpikir ingin menjadi bagiannya, sebagai seorang sahabat. Sisi lain, aku menyadarkan diriku, setelah apa yang terjadi di jembatan waktu itu—semua sudah jelas. Aku tidak akan menikah sampai ketiga anakku besar dan mandiri. Setidaknya sampai umur lima tahun, barulah aku akan memikirkan bagaimana melanjutkan hidupku.

Aku kembali tersadar, bahwa ternyata aku tengah menjaga tiga anakku. Tunggu, di mana Vio?

Aku mencarinya dengan mengedarkan pandanganku. Mencari sosok mungil di antara banyaknya tamu. Hingga aku menemukannya. Vio berlari kecil, sebelum terjadi kekacauan lebih baik aku hampiri dia. Menangkapnya dan membawanya.

~•~•~•~•

Sekarang double update terus
Jadi aku ingatkan, bacanya jangan loncat-loncat.

Coba diingat, terakhir baca bab berapa, jadi gak bingung kalo tiba-tiba kok gini. Ternyata loncatin part sebelumnya

Oke sekian, Kani undur diri
Langsung baca bab selanjutnya

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang