20. Shopping

2.6K 324 45
                                    

Zia menggendong tas ransel sekolahnya ke atas punggung. Kedua kakinya melangkah menghampiri sang Ayah yang sedang menikmati secangkir kopi hitam, sembari berhadapan dengan telivisi.

"Yah, Zia berangkat dulu," Zia mengambil tangan Ayahnya, lalu menyalami.

Zia menatap Ayahnya sekilas sebelum melangkah keluar dari rumah. Dari pancaran matanya, masih terlihat jelas kemarahan dalam dirinya. Sudah lima hari Ayahnya itu mendiamkan Zia. Ya, semenjak kejadian itu.

Zia melangkahkan kakinya keluar dari rumah dengan berandai-berandai. Andai Ibunya masih berada di sini, bersamanya, pasti tidak akan seberat ini. Hidup akan jauh lebih indah dan pasti, Ayah tidak akan se-arogan ini.

Zia tersenyum getir seraya melihat sepatu sekolahnya yang mulai kusam itu melangkah menuju pintu pagar rumah. Seperti biasa, Zia akan berangkat sekolah menggunakan ojek online, tapi ia belum memesan transportasi tersebut dari applikasi.

"Psst,".

Zia masih sibuk berkutat pada ponselnya.

"Pssttt, oit!"

Zia menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arah kanan dan kiri mencari asal sumber suara.

"AAA——Mphhh!"

Zia sempat ingin berteriak ketika mendapati seseorang muncul secara tiba-tiba di hadapannya, tetapi dengan cepat mukutnya di tutup oleh orang itu.

"Jangan berisik." Perintahnya dengan nada penekanan sembari menyeret Zia untuk menjauhi rumahnya. Orang itu tidak mau melepaskan bekapannya sebelum Zia berjanji tidak akan berisik.

"Lo ngapain sih di sini?" Zia menatap orang itu dengan malas. "Mana tangan lo asin lagi, cuih!"

"Abis ngupil."

Zia melebarkan matanya cepat. "Sumpah demi apa pun, lo jorok banget ANDREAS!"

"Berisik." Sahut Andreas acuh. "Ayo berangkat." Lanjutnya yang membuat Zia mengernyit.

"Lo ngajakkin gue berangkat bareng ceritanya?" Zia menatap Andreas sembari senyum-senyum meledek.

"Di suruh Grandma."

"Halah, gimana sih, Masa harus di suruh Grandma dulu baru jemput gue." Zia memasang wajah masam.

"Gue bukan kacung lo." Sarkas Andreas. "Dan gue nggak mau bangkrut gara-gara beli kembang tujuh rupa terus."

"Bentar-bentar," Zia mengangkat tangannya, memberi kode untuk berhenti bicara karna dirinya ingin menyimak perkataan yang tadi. "Maksud lo apa ngomong begitu?" Tanya Zia yang baru sadar.

"Lo," Andreas menunjuk wajah Zia. "Penuh najis beserta kuman." Lanjutnya, lalu membalikan tubuhny dan melangkah ke tempat motornya berbeda.

"KUTUB ASE——mph." Zia menutup mulutnya sendiri, karna takut ketahuan oleh Ayahnya. "Pagi-pagi, ada aja yang buat hati memanas!"

×××

Motor sport milik Andreas memasuki area sekolah. Semua mata menuju ke arah si pengendara motor dan si penumpangnya. Tatapan mata dengan perasaan yang berbeda-beda tak bisa di hindarkan, begitu pun dengan bisik-bisik gosip yang baru saja dimulai.

"Turun atau gue jorokin?" Tanya Andreas dingin dari balik helm yang ia gunakan.

"Lo yang gue banting aja, gimana?" Zia turun dari motor sembari membuka helm, lalu memberi pada Andreas.

Andreas mengambil helm yang di sodorkan oleh Zia. "Gue manusia, bukan celengan ayam."

"Mau ngelawak?" Sindir Zia meremehkan. "Sayangnya nggak lucu."

DUA ES KUTUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang