33. Diambang Kematian

2K 291 52
                                    

Seorang gadis dengan kepala diperban terlentang tak berdaya di ranjangnya. Ia tidak bisa berbicara dan tidak bisa bergerak, bahkan nafasnya saja dibantu oleh selang oksigen.

Suara mesin pendeteksi detak jantung memecahkan keheningan di ruang ICU. Dan suara itulah yang menemani Zia yang tertidur selama 5 hari kebelangakangan ini.

Zia mengalami gegar otak cukup berat kepada kepalanya akibat benturan anak tangga. Untung saja benturan tersebut tidak mengganggu saraf matanya, jika tidak, bisa saja ia mengalami kebutaan untuk yang kedua kalinya.

Tidak ada yang menyangka jika dampaknya akan seburuk ini, Zia akan mengalami koma. Begitu juga dengan Mauren, ia tidak menyangka jika akibat ulahnya ia dikeluarkan dari sekolah. Ya, semenjak Zia dinyatakan koma, Mauren resmi melepas status dari pelajar di SMA Wisesa. Mauren tidak bisa menyangkal tuduhan ini karna terlalu banyak saksi mata, maka dari itu Mauren diberi sanksi yang sangat berat karna dianggap sudah keterlaluan oleh pihak sekolah dan tidak bisa ditoleransi.

Kaila menjadi orang yang selalu standby menemani Zia tertidur di ruang ICU. Ia sangat merasa bersalah terhadap Zia, ia juga menyesal kenapa tidak bisa mencegah kejadian yang terjadi di depan matanya waktu itu. Tapi semuanya telah terjadi, Kaila tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu Zia terbangun dari tidur panjangnya.

"Kaila,"

Mata Kaila beralih menatap Ayah Zia yang baru saja masuk ke ruang ICU dengan baju khususnya itu.

"Sudah larut malam, kamu nggak pulang?" Pak Tio menatap Kaila, lalu beralih menatap putri semata wayangnya yang masih berbaring di ranjang.

"Besok saya libur sekolah Om. Jadi, mungkin saya pulang dari sini lebih larut." Kaila tersenyum sopan.

"Tapi, Kaila, kamu itu belum pulang ke rumah sehabis sekolah. Bahkan, kamu aja masih pakai seragam sekolah, belum ganti baju."

Kaila menatap dirinya sendiri yang masih memakai seragam sekolah dibalik baju steril.

"Mending kamu pulang dulu, istirahat. Lalu besok kemari lagi. Saya cuma nggak mau kamu sakit karna jagain anak saya, Kaila." Pak Tio mencoba menasihati sahabat anaknya. "Kalau saja Zia sadar, dia juga bakal marah sama kamu karna nggak jaga kesehatan,"

Ekor mata Kaila bergerak menatap Zia yang masih saja tertidur dengan iringan suara mesin pendeteksi detak jantung di sebelah ranjangnya. Kaila tersenyum tipis mengingat kepedulian sahabatnya ketika mereka masih baik-baik saja dulu. Walau Zia memiliki sifat dingin, tetapi kalau masalah Kaila, Zia selalu jadi orang pertama yang cerewet.

Kaila menghela nafasnya berat, lalu beralih menatap Pak Tio sembari bangkit dari duduk. "Ya sudah, Om. Saya pulang dulu, besok saya bakal kemari lagi."

Pak Tio tersenyum seraya mengangguk.

"Zi, gue balik dulu, ya. Besok gue bakal ke sini lagi. Mau gue bawain seblak nggak nanti? Tapi lo bangun dulu." Kaila mengusap-usap tangan kanan Zia yang terpasang infus.

Tanpa sadar setitik air keluar dari celah matanya. Kaila menangis. Dengan cepat ia menyekanya dengan punggung tangannya. Kaila tidak ingin berlama-lama di sana, ia takut jika ia akan menangis lebih deras lagi nantinya.

"Om, saya pamit pulang dulu." Kaila menyalami tangan Pak Tio.

"Hati-hati di jalan Kaila. Dan terima kasih sudah nemenin anak saya tidur hari ini."

Kaila mengangguk, lalu melangkah keluar ruang ICU.

×××

Andreas menatap fokus ring basket yang menjulang tinggi di depannya seraya men-dribble. Kakinya berlari kecil, lalu meloncat guna melempar bola ke dalam ring. Tepat sasaran. Bolanya masuk ke dalam ring seperti keinginannya.

DUA ES KUTUBWhere stories live. Discover now