22. Kenapa?

2.3K 292 68
                                    

Zia menatap pintu kayu berwarna coklat yang tertutup rapat, sudah sekitar tiga menit ia berdiri di sana dengan kepala yang penuh pertanyaan. Padahal, ia hanya pingsan selama limabelas menit tadi, tapi seakan ia adalah orang asing yang baru saja datang tanpa mengetahui apa pun yang terjadi sekarang.

"Zia,"

Suara hangat Nenek Andreas membuat Zia sadar dari lamunannya dan menoleh sembari memperapat jaket yang ia gunakan.

"Pak Marco udah nunggu di luar, siap ngaterin kamu pulang." Ucap Nenek Andreas sembari melangkah lebih dekat kearah Zia.

Spontan Zia menoleh ke belakang, kearah pintu yang tadi ia tatapi. Nenek Andreas mengikuti arah tatapan Zia yang menuju pintu kamar cucunya, Andreas.

"Andreas marah ya, Grandma? Tadi Zia ketuk pintu kamarnya, tapi nggak di buka-bukain. Bahkan sekarang, Andreas nyuruh Zia pulang sama Pak Marco melalui Grandma. Kenapa nggak bilang langsung aja sama Zia? Kenapa harus melalui Grandma?" Zia menatap Nenek Andreas penuh harap. Berharap jika Neneknya Andreas bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terkumpul di kepalanya sedari ia sadar dari pingsan tadi. Karna Zia sangat butuh keterangan sebenarnya apa yang terjadi selama ia pingsan tadi. Kenapa Andreas berubah dalam sesaat?

Entah mimpi atau khayalannya saja, tapi saat tercebur ke kolam renang Zia dapat melihat bayangan Andreas yang berenang kearahnya. Sayangnya semua itu tidak benar, hanya khayalan mungkin. Karna menurut Nenek Andreas, yang membantunya ketika tenggelam ialah Pak Marco, bukan Andreas. Bahkan, di saat ia membuka mata, orang yang pertama berteriak histeris adalah Neneknya Andreas, sedangkan Andreas hanya berdiri di sisi sofa menatapnya dengan raut wajah sangat dingin. Itu pun tidak bertahan lama, setelahnya Andreas pergi ke kamar tanpa mengucapkan sepatah apa pun pada Zia.

"Andreas nggak marah kok sama kamu, mungkin mood-nya lagi buruk saja." Nenek Andreas mengusap bahu Zia mencoba menenangkan. "Jadi kamu tenang saja, oke?" Nenek Andreas tersenyum.

Zia ikut tersenyum, lalu mengangguk. "Kalau gitu, Zia pulang dulu Grandma," Kata Zia berpamitan. "Oh, ya, Grandma,"

"Ya?"

"Tolong kasih tahu Andreas, kalau Zia nggak marah sama dia dalam hal apa pun itu, ya... walau rada kesel dikit. Tapi Zia lebih banyak terimakasih buat Andreas,"

Nenek Andreas mengembangkan senyumnya, "Pasti Grandma akan sampaikan,"

Sebenernya, tanpa Neneknya memberitahu pun Andreas sudah mengetahuinya. Sedari tadi ia berdiri di balik pintu kamarnya, mendengar semua yang terjadi di luar.

×××

Zia membuka pagar rumahnya perlahan sembari mengedarkan pandangan. Ia mendapati sepeda motor sang ayah yang sudah terpakir di depan halaman rumah. Ayahnya sudah pulang kerja karna ia telat satu jam kembali ke rumah dari biasanya.

Sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah, Zia lebih dulu melepas jaket yang di beri pinjam oleh Grandma, bahkan ia telah mengganti pakaian ganti dari Grandma menjadi seragam lagi agar tidak di curigai oleh Ayahnya. Perihal belanjaannya, ia telah menyimpannya di dalam tas dengan baik.

Saat merasa sudah siap, perlahan Zia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Baru beberapa langkah ia berjalan masuk, Zia sudah mendapati beberapa botol minuman alkohol kosong yang terletak di meja ruang tengah. Ayahnya mabuk lagi?

PRANG!

Kepala Zia langsung menoleh cepat ketika mendengar keributan yang berasal dari kamarnya. Karna penasaran, Zia langsung bergegas ke kamarnya guna memeriksa. Matanya membulat sempurna melihat sang Ayah sedang mengacak-ngacak kamarnya dengan keadaan mabuk.

DUA ES KUTUBDonde viven las historias. Descúbrelo ahora