37. Bosan Membawa Kesan

2K 270 50
                                    

Tidak terasa sudah seminggu Zia tersadar dari koma dan dirawat di rumah sakit. Dan hari ini Zia diperbolehkan kembali ke rumah, dengan syarat harus datang ke rumah sakit seminggu sekali untuk mengontrol luka pada kepalanya.

Pak Tio tidak perlu repot-repot mengurusi masalah administrasi, karna Grandma telah mengurusi segala administrasi melalui Pak Marco, bahkan Pak Tio dan Zia diantarkan oleh Pak Marco untuk kembali ke rumah.

Zia mendengus pelan memandangi jendela kamarnya yang mengarah ke halaman depan rumah. Rasa bosan meliputinya, sudah lama ia tidak beraktivitas seperti bisa. Ia rindu bersekolah, rindu berkencan dengan buku-bukunya di perpustakaan, rindu belajar bersama rasa ambisnya yabg selalu membakar semangat dirinya.

Tadi Zia sudah menghubungi Kaila, ia memberitahu sahabatnya akan kepulangannya dari rumah sakit, sekaligus menyuruh Kaila untuk mampir ke rumahnya sehabis pulang sekolah karna ia merasa bosan sendirian. Namun, sayang sekali, Kaila sedang berada di luar kota, bahkan sahabatnya itu tidak masuk sekolah hari ini.

Zia memicingkan kedua matanya melihat siluet lelaki bersama motornya berhenti tepat di gerbang pintu rumahnya. Tidak lama kemudian, Pak Tio muncul dari balik pintu kamar Zia, memberitahu jika ia kedatangan seorang tamu.

Zia segera ke ruang tengah yang biasanya dijadikan tempat penampungan tamu jika ada orang datang ke rumahnya. Sedangkan Pak Tio masuk ke dalam kamarnya. Zia berhenti melangkah melihat sosok yang terduduk di sofa di ruang tengah. Entah dia harus senang karna ia bisa mengusir rasa bosannya dengan bertemu Si Tamu, atau ia harus sebal melihat orang itu yang telah cukup lama tidak memunculkan batang hidungnya di hadapannya.

Orang itu menyadari kehadiran Zia yang mengamatinya dari—agak—kejauhan. Mau tak mau Zia harus menemuinya, tidak mungkin ia berlari kabur kembali ke kamarnya.

"Pala masih utuh ternyata." Gumam orang itu ketika Zia melangkah mendekat ke arahnya.

Zia memutar kedua bola matanya malas mendengar omongannya yang basi menurutnya. "Nyasar lo bisa kemari?"

Zia duduk tepat di sebelahnya, sehingga orang itu sedikit bergeser memberi ruang lebih untuknya.

"Gue emang niat kemari,"

Zia melebarkan matanya, dahinya mengkerut. "Dih, tumben. Kesambet apaan lo, Tub?"

Andreas tidak menjawab, ia malah bertanya hal yang lain.

"Pala lo gimana?" Andreas mengangkat tangannga ingin memegang kepala Zia, namun Zia langsung menghindar, takut lukanya ditekan lagi oleh Andreas. "Masih sakit?"

"Udah nggak sakit, kok. Biasa aja." Jawab Zia. "Lo tau dari mana kalau gue udah balik dari rumah sakit?"

"Grandma."

"Akh, ya, gue lupa kalau Grandma itu nenek lo."

"Kepentok sama tangga menyebabkan pikun ternyata." Gumam Andreas sembari menatap kepala Zia yang diperban.

"Enak aja!" Zia memukul pundak Andreas pelan.

Sempat ada keheningan terjadi di antara mereka. Andreas sadar akan ekspresi wajah Zia yang terlihat murung, tidak seperti biasanya.

"Lo kenapa?" Pertanyaan dari mulut Andreas membuat Zia menatapnya.

Zia mengernyit, tidak begitu mengerti apa yang Andreas katakan. "Gue nggak apa-apa—"

"Muka lo," potong Andreas yang masih aja memperhatikan wajah Zia. "Murung." Lanjutnya.

Zia berdengus pelan sebelum menjawab. "Gue bosen kayak begini terus, nggak bisa ngapa-ngapain. Gue kangen sekolah padahal. Kangen belajar, kangen baca buku, kangen ngambis,

DUA ES KUTUBWhere stories live. Discover now