39. Hilangnya Zia

1.8K 252 28
                                    

Andreas terduduk di sofa ruang tengah rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Andreas terduduk di sofa ruang tengah rumahnya. Sedari tadi pandangannya tidak terlepas dari benda pipih bernama ponsel. Andreas memberi banyak pesan pada Zia, menanyakan keadaannya sekarang, ia juga sesekali menghubunginya melalui telfon dan berakhir nomernya tidak aktif.

Andreas berdecak kesal ketika panggilan telfonnya untuk kesekian kalinya tidak diangkat.

"Lo kemana, sih!" Andreas meletakkan ponselnya kasar ke atas meja, ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

Andreas sudah ke rumah Zia tadi sore, ia pergi ke sana untuk memastikan keberadaannya. Tapi dua jam menunggu, Zia tak kunjung muncul. Sebenarnya ia ragu jika Zia berada di rumah, mengingat suasana di dalam rumahnya terlihat gelap dan sepi. Akhirnya, ia memutuskan kembali ke rumah, mencoba menunggu kabar dari Pak Tio.

Kepala Andreas bergerak menoleh mendengar Grandma memanggil namanya.

"Mama kamu ingin bicara sama kamu Andreas," Grandma menyerahkan sebuah laptop yang tadi dipegang Grandma sebelumnya, di sana tertampil wajah Yasmin, ibu dari Andreas.

Andreas meraihnya, meletakkannya di atas meja. Sedangkan Grandma memberikan waktu bicara pada ibu dan anak itu.

Andreas menatap layar laptop yang menampilkan sosok ibunya yang posisinya juga sama dengannya, duduk di sofa di ruang tengah.

Wajah ibunya terlihat datar, Andreas tidak bisa melihat sama sekali ada ukiran senyum di sana. Kalau sudah begini, pasti ibunya ingin berbicara serius.

Sebelum berbicara Andreas bisa melihat dan mendengar helaan nafas ibunya.

'Mama tahu keadaan kamu akhir-akhir memburuk. Jadi, Mama putuskan, kamu harus kembali New York,'

Mata Andreas melebar, tidak menyangka jika mamanya akan mengatakan hal ini.

'Untuk apa di Jakarta kalau kamu nggak dapat ketenangan?'

"Ma, Andreas baik-baik aja. Nggak usah khawatir." Andreas mencoba sedikit demi sedikit mengubah keputusan sang ibu.

'Baik-baik gimana? Kalau kamu aja susah tidur setiap malam?'

Andreas terdiam beberapa saat, perkataan ibunya tidak salah.

'Kembalilah ke New York Andreas,'

Andreas menatap wajah ibunya melalui layar laptop cukup lama, seakan ia berpikir lebih dulu.

"Enggak, Ma." Tolak Andreas tegas. "Sekolah Andreas sebentar lagi mau selesai di sini, dan itu nggak bisa ditinggalin."

'Kamu bisa ngelanjutinnya di sini Andreas, bersama Ansel saudara kembarmu juga.'

Andreas menggeleng cepat, menolak mentah-mentah tawaran ibunya. Sebisa mungkin ia membujuk, tetapi percuma, hingga ia terpaksa mengeluarkan kalimat yang tak dipikirkan sebelumnya.

DUA ES KUTUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang