34. Antara Hidup dan Mati

2K 287 63
                                    

Kaki Kaila bergerak melangkah dengan tempo sedang. Di tangan kanannya ada kantung yang berisi bubur ayam, rencananya makanan tersebut akan diberikan kepada Ayahnya Zia, Pak Tio. Kaila tahu jika Pak Tio akhir-akhir ini tidak makan teratur karna kerepotan menjaga putri semata wayangnya yang tengah terbaring koma, maka dari itu Kaila berinisiatif untuk membelikan sarapan untuk beliau.

Sebelum Kaila masuk ke ruang ICU, ia terlebih dahulu menggunakan baju steril. Ia juga menitipkan bubur ayamnya ke security yang menjaga ruang ICU, mengingat tidak diperbolehkannya membawa apapun ke dalam ruangan ICU yang bersifat steril.

Kedua pupil mata Kaila melebar ketika melihat beberapa perawat dan seorang dokter sedang mengerebuti ranjang yang biasanya dipakai Zia. Jantungnya berdebar lebih cepat dari pada biasanya, pikiran-pikiran negatif tentang sahabatnya langsung merasukinya.

Kaila tersentak saat Pak Tio menepuk bahunya, menyadarkannya dari lamunan.

"Zi–Zia kenapa Om?" Tanya Kaila dengan terbata-bata, matanya pun sudah berkaca-kaca. Tapi sebisa mungkin ia tak menangis.

Pak Tio menghela nafas berat sebelum berbicara membuat Kaila makin khawatir. "Detak jantungnya melemah,"

Kaila tercekat mendengarnya. Tanpa aba-aba air matanya memaksa untuk keluar dari tempatnya. Kaila menutup mulutnya agar suara isakkannya tidak mengeluarkan suara.

Pak Tio mengusap-usap pundak Kaila, mencoba menguatkan. "Sudah, nggak usah menangis. Zia sedang ditangani. Zia pasti nggak apa-apa."

Perbincangan berdua terganggu ketika dokter yang menangani Zia meminta berbicara empat mata dengan Pak Tio di luar. Sedangkan Kaila memilih untuk mendekati ranjang Zia. Kaila melihat beberapa perawat masih sibuk di sekitar ranjang Zia.

"Sus, sahabat saya tidak apa-apa, kan?" Kaila bertanya dengan salah satu perawat. Mata sembabnya menunjukkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja, ia juga berharap si perawat akan memberikan kabar yang tidak membuat matanya semakin sembab.

Si perawat tersenyum. Ada perasaan iba ketika menatap mata sembab milik Kaila. "Detak jantungnya sudah kembali normal, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Akhirnya Kaila bisa bernafas lega setelah beberapa detik ia menahan nafasnya karna menunggu jawaban dari si perawat.

"Saya permisi dulu, ya, Kak," si perawat menunduk sopan lalu melangkah pergi dari sana.

Pandangan mata Kaila sekarang beralih ke sahabatnya yang masih saja tertidur. Kaila menarik sebuah kursi yang ada di sebelah ranjang Zia, lalu ia duduki. Kaila meraih tangan Zia yang terpasang infus di punggung tangannya, ia mengusapnya pelan.

"Zi, terus berjuang ya? Jangan menyerah. Gue tahu lo capek dengan keadaan ini, tapi jangan pernah berpikir untuk menyerah buat membuka mata lo. Banyak orang yang nungguin lo terbangun dari tidur panjang lo ini Zi."

Kaila tahu Zia mendengar perkataannya barusan, walau pun sahabatnya itu tak sanggup menggerakan bibirnya untuk berbicara, tidak apa, itu tidak masalah baginya.

Jari-jari lentik Kaila mengusap pipi yang basah akibat air matanya. Akhir-akhir ini ia sedang merindukan sahabatnya, maka dari itu ia berubah menjadi cengeng.

Kepala Kaila berputar saat sadar akan kehadiran Pak Tio. Pria yang sudah memasuki kepala empat itu ikut memandangi Zia dengan tatapan mata sendu, membuat hati Kaila tidak tenang.

Kaila berdiri dari duduknya. "Apa yang dikatakan dokter tadi, Om? Maaf saya lancang bertanya seperti ini, tapi saya terlanjur penasaran."

Pak Tio kini beralih menatap Kaila, sahabat dari putrinya. Ia bisa melihat jelas mata gadis itu sembab karna menangis tadi, ia menjadi ragu untuk memberitahunya.

DUA ES KUTUBWhere stories live. Discover now