23. Khawatir

2.6K 296 52
                                    

Andreas mengedarkan pandangannya perlahan, mencoba mengingat di mana dirinya sekarang. Ia dapat melihat langit biru dan gedung-gedung tinggi dari sini. Andreas mengernyitkan dahi, ia merasa familiar dengan tempat ini, tapi ia lupa tempat apa ini.

Bau amis menyeruak di panca idera hidungnya. Baunya sangat menyengat. Hidungnya mengendus mencari darimana asal bau itu. Mata Andreas melebar ketika tidak sengaja melihat baju yang ia kenakan terdapat darah. Tidak, ini bukan kaos atau pun semacamnya. Pakaian yang ia kenakan sekarang adalah seragam.

Wajah Andreas makin memucat saat sadar jika kedua tangannya di penuhi darah juga. Kupingnya mendengar suara jeritan dan tangisan dari bawah gedung, ia langsung menatap ke bawah gedung. Ia mendapati seseorang yang penuh darah terlentang tak bernyawa di bawah sana.

"You're a murderer, Andreas."

Andreas langsung menoleh cepat ketika mendengar suara dari sebelah. Perempuan berambut pirang itu menatap dingin Andreas.

"No! I'm not a murderer."

"YOU'RE A MURDERER!" Perempuan itu semakin berjalan mendekat kearahnya, sedangkan Andreas melangkah mundur.

"NO!" Elak Andreas cepat.

"KILLER!"

"YOU ARE A MURDERER!"

"YOU KILLED HIM!"

"IT'S NOT MY FAULT!" Andreas mencoba menutupi telinganya dengan kedua tangannya. Tapi suara itu semakin menggema di pikirannya.

Andreas makin panik banyak orang berdatangan dengan meneriaki kalimat yang sama.

"YOU ARE MURDERER!"

"KILLER!"

"YOU KILLED HIM!"

"ANDREAS IS A MURDERER!"

"NOOO!!!!!"

Andreas bangkit dari tidurnya dengan nafas tersenggal-senggal. Dahinya di penuhi dengan keringat dingin yang keluar dari pori-porinya. Dengan gerakan cepat Andreas meraih kunci yang di simpan di balik figura foto di atas nakas, lalu membuka laci kecil yang tepat berada di samping ranjang. Andreas memasukan sebuah pil ke dalam mulutnya dan meneguk banyak air. Setelah itu, ia meletakan gelas kosong dengan gusar di atas nakas.

Andreas menyenderkan tubuhnya di dashboard ranjang. Sudah lama sekali ia tak bermimpi buruk setelah pindah ke Jakarta, ini kali pertama ia bermimpi buruk lagi. Bahkan, ini mimpi paling buruk yang pernah dialami dan berhasil membuatnya kembali mengingat kejadian itu. Kejadian yang seharusnya ia lupakan.

Andreas melirik jam yang terpampang jelas di dinding, masih pukul dua pagi.  Ia mencoba untuk melanjutkan tidurnya. Baru saja memejamkan mata, pikirannya langsung di penuhi dengan suara-suara yang persis ada di mimpinya tadi. Sontak Andreas kembali terduduk di ranjang, dan memutuskan tidak melanjutkan tidurnya hingga pagi datang.

×××

Andreas sudah rapih dengan seragam sekolahnya. Ia terduduk di kursi dekat meja makan dengan tenang sembari melahap sarapan paginya. Sesekali ia melirik Kakek dan Neneknya yang berbincang di selingi tawa di hadapannya. Andreas berdecak kagum atas keromantisan yang masih terasa di antara mereka berdua.

Setelah selesai dengan sarapannya, Andreas segera bangkit untuk pergi ke sekolah. Sebelumnya, ia berpamitan terlebih dahulu dengan Kakek dan Neneknya.

Andreas mengendarai motor sportnya dengan kecepatan sedang menuju sekolah. Matanya sedikit memerah dan kantung matanya sedikit menghitam akibat kurang tidur. Akibat mengantuk, motor Andreas nyaris menabrak gerobak tukang bubur yang mangkal di dekat trotoar jalan.

DUA ES KUTUBWhere stories live. Discover now