38. Kembali Sekolah

2.1K 250 32
                                    

Zia meraih ransel sekolahnya di atas meja belajar, sebelum keluar dari kamar ia lebih dulu melihat pantulan bayangannya yang mengenakan seragam di cermin. Zia tersenyum melihat tidak ada lagi perban di kepalanya. Beberapa minggu yang lalu Zia pergi ke rumah sakit untuk melakukan kontrol dan pelepasan perban pada kepalanya, mengingat lukanya sudah mengering.

Zia memang sangat berhutang budi sekali dengan Grandma, sudah berkali-kali ia diselamatkan hidupnya oleh beliau, entah itu masalah finansialnya, masalah biaya sekolah, hingga masalah biaya pengobatannya saja Grandma yang menanggung. Zia semakin terenyuh ketika melihat Grandma sengaja membelikan ayahnya sepeda motor baru untuk pergi bekerja, mengingat sepeda motor lamanya dijual untuk membiayai pengobatannya. Dan hari ini, kembalinya Zia bersekolah, Grandma mengutus Pak Marco untuk mengantar dan menjemput Zia.

Zia menyalami sang ayah yang sudah rapih dengan baju kerjanya, beliau sedang menikmati sarapannya.

"Berangkat dulu, Yah,"

"Sudah dijemput memang?" Tanya Pak Tio, ia juga mengetahui bahwa Grandma mengutus Pak Marco untuk mengantar dan menjemput zia.

Zia mengangguk, "sudah, Yah. Di depan. Zia berangkat dulu,"

Ketika mendapatkan anggukan dari ayahnya yang bertanda mengizinkan, Zia langsung melangkah keluar rumah. Baru beberapa langkah ingin mendekati pagar, matanya dibuat menyipit melihat kedua lelaki yang terlihat sedang berdebat di luar.

"Biar saya aja," kata lelaki itu yang memakai seragam sekolah, tetapi dibalut oleh jaket kulit layaknya anak geng motor.

"Tapi, Mas. Saya, kan, yang diutus Grandma buat jemput dan antar Mbak Zia," kata lelaki satu lagi, terlihat sudah berumur, ia mengenakan pakaian serba hitam. Jangan lupakan tubuhnya yang agak kekar menyeramkan itu.

"Saya diutus sama Allah buat nganter dia," sahut lelaki berseragam sekolah itu dengan dingin. "Mau apa?"

"Saya cuma takut dimarahin Grandma, Mas Andreas," Pak Marco sedikit menunduk takut.

"Bilang, Andreas yang maksa." Andreas melempar kunci motornya pada Pak Marco, sedangkan kunci mobil sudah dulu direbut. "Bapak pulang aja pakai motor saya,"

"Saya nggak bisa naik motor, Mas."

"Dorong,"

"Berat, Mas."

"Hubungi yang lain, suruh jemput Bapak."

Pak Marco mengangguk cepat, ia langsung mengeluarkan ponsel miliknya dan menghubungi rekan kerjanya.

"Sepulang dari sini belajar motor," gumam Andreas, ia sembari bersandari di mobil dan memerhatikan Pak Marco yang telah selesai menelfon.

"Siap, Mas."

Andreas terus-menerus memerhatikan Pak Marco yang masih saja berdiri di dekatnya bersama motor sport merahnya, tidak berpindah tempat sama sekali.

"Ngapain Pak di situ?"

Pak Marco menoleh, menatap majikkannya yang menatapnya datar. "Nunggu Pak Wito, Mas."

Andreas berdiri tegak dari senderannya, siap mengusir keberadaan Pak Marco. "Jangan di sini nunggunya,"

"Terus saya nunggu di mana, Mas?"

"Kalau nunggu di sini nanti Zia lihat dia nggak mau bareng sama saya." Kata Andreas, ada rasa sedikit kesal karna harus mengeluarkan banyak kata dari mulutnya. "Jauh-jauh dari sini,"

Pak Marco mengangguk sigap, ia langsung mendorong motor sport Andreas agar menjauh dari kawasan rumah Zia. Sebisa mungkin Pak Marco bersembunyi agar tidak terlihat. Sedangkan Andreas sibuk melambai-lambaikan tangannya ke arah Pak Marco layaknya mengusir seekor ayam.

DUA ES KUTUBWhere stories live. Discover now