11 | Become A Basket Manager (3)

26 12 8
                                    

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pergi ke ruangan klub basket. Rupanya di sana masih sepi, baru ada Kak Joan, Rei dan beberapa anggota lain yang tiba di sana.

"Kak Joan, yang lain ke mana?"

"Gak tahu deh, ini lagi coba dihubungi. Tadi beberapa ada yang izin jajan dulu, beberapa ada yang masih ganti baju, sisanya kurang tahu. Kayaknya masih di kelas."

Aku mengangguk, menaruh tasku di atas kursi. "Jadi gimana kak? Mau ditunggu aja?"

"Iya, ditunggu dulu aja ya. Nanti kalau lewat 5 menit belum datang kita panggil-panggilin. Ini aku lagi coba hubungin dari handphone dulu biar cepat."

Aku menurut, duduk di salah satu bangku, mengamati ruangan klub basket yang berantakan dipenuhi peralatan basket, foto-foto yang dipajang di dinding, dan beberapa piagam, medali dan piala yang dipajang di dalam rak kayu. Beberapa terlihat berdebu dan tidak terawat. Sepertinya tugasku juga membersihkan ruangan klub basket.

Setelah menunggu 5 menit, masih banyak anggota yang belum terkumpul. Namun Zean dan Aldi sudah terlihat di sini, rupanya kelas mereka baru selesai karena ada ulangan mendadak. Namun yang beralasan jajan belum kembali juga.

"Kayaknya gue harus samperin yang jajan dulu deh. Fhea tolong atur mereka ya, suruh latihan dribling dulu dari ujung lapangan ke ujung yang lain."

"Siap kak!" Kak Joan segera berlari ke kantin menjemput mereka. Aku berdeham, menatap mereka satu persatu.

"Kata Kak Joan, kalian dribling dulu dari ujung ke ujung lapangan sambil menunggu Kak Joan dengan anggota yang lain!"

Beberapa dari mereka mulai mengambil bola basket dari kerajang dan dribling. Aku menoleh ke 3 anak cowok yang masih bermain handphone di sudut ruangan. Postur tubuh mereka besar, sepertinya mereka anak kelas 11.

"Maaf kak, tadi Kak Joan suruh yang lain untuk melakukan dribling dulu."

Mereka bertiga menatapku, lalu kembali bermain handphone, seolah aku tidak ada. Aku berdeham, mencoba berbicara lagi, "Maaf, kak tadi Kak Joan suruh yang lain—"

"Iya-iya tau kok! Nanti juga bakal dribling!"

Aku berdiri di dekat mereka, menunggu hingga kira-kira 2 menit. Namun mereka tak kunjung beranjak, dengan sedikit kesal aku kembali menghampiri mereka. "Maaf kak, ini udah dua—"

"Iya-iya aduh, berisik bangett sih! Kalah kan!" Salah satu dari mereka berteriak.

Kedua kakiku bergetar. Aku takut. Bagaimana ini ... mereka seram sekali, tapi aku tidak mau mengecewakan Kak Joan juga.

"Kakak-kakak udah dengar kan perintah Kak Joan tadi, kita disuruh dribling. Gak perlu diulangi lagi kan!" Rei datang membelaku.

"Hei kenapa pakai marah, biasa saja dong!" Mereka bertiga tertawa lalu beranjak, sengaja menabrak bahu Rei saat berjalan.

"Ah, makasih …." Aku membungkuk. Syukurlah Rei menyelamatkanku, kupikir dia jahat.

Rei balas menatapku tajam, kemudian memutar bola matanya. "Hftt … dasar merepotkan!"

Aku tersenyum kecut. Kutarik kata-kataku kembali!

Aku berjalan menghentak-hentak ke lapangan. Mengawasi mereka dribling di sudut lapangan. Kuharap tidak ada masalah lagi hari ini.

Saat mengawasi, ekor mataku menangkap 2 orang cowok tampak bercanda saat dribling. Aku menguatkan mentalku dan berjalan menghampiri mereka. "Dribling ya, jangan bercanda."

"Iya-iya, ga usah serius gitu dong!"

Aku menghela napas, salah lagi. Apa aku benar-benar terlalu serius?

"Kalian dengar kan kata Fhea tadi, latihan dribling yang benar! Jangan pada bercanda!"

Zean datang, kali ini ia yang membelaku. Mereka berdua berdecak lalu kembali mendribble bola.

"Lain kali yang tegas ya Fhea," ujar Zean.

Aku mengangguk. Iya, memang harusnya latihan itu serius, ga pake bercanda. Lain kali aku harus lebih tegas Fhea!

Tak lama Kak Joan datang dengan 3 cowok di belakangnya. Setelah itu ia memberi instruksi untuk memulai latihan pertandingan dengan dibagi menjadi 2 tim. Masing-masing tim harus memasukkan bola ke dalam ring lawan sebanyak 10 kali.

Aku duduk di kursi panjang pinggir lapangan, memperhatikan dan berjaga-jaga jika ada yang terluka. Aku menyalakan handphoneku, rupanya ada notif dari teman-temanku. Mereka sedang sibuk meledekku di group chat.

BRUUKK ….

Aku tersentak, kaget. Suara itu berasal dari tengah lapangan. Aldi terjatuh! Panik, aku segera berlari menghampirinya. Ia tampak kesakitan, Kak Joan duduk di samping, membantunya bangun.

Saking paniknya aku bingung harus melakukan apa, terlebih darah mengucur dari lutut kanannya. "Emm …" Aku bergumam.

"Kotak P3K di mana?" Zean berteriak panik.

"Ah itu, di … sana …."

"Minggir!" Rei berlari membawa kotak P3K. "Kerja tuh yang benar! Dasar lamban!"  bentaknya.

Aku menunduk. Ucapan itu sudah pasti ditujukkan padaku, matanya melirikku tajam saat mengucapkan kata-kata itu. Aku meremas rokku, lagi-lagi aku tidak bisa melakukan hal dengan benar.

"Pertama-tama, bawa Aldi ke pinggir lapangan dulu! Lalu Fhea akan merawatnya nanti! Kita akan tetap latihan seperti biasa tanpa Aldi!" seru Kak Joan memberi perintah.

Zean dan 2 orang lainnya segera membopong Aldi ke pinggir lapangan. Rei berjalan melewatiku sambil membawa kotak P3K di tangannya.

"Maaf." Aku bergumam di sampingnya. Ia melirikku sebentar lalu kembali berjalan. Aku mengusap kedua mataku yang memanas.

Jangan nangis Fhea, di lain kesempatan kau pasti bisa! Jadikan ini pembelajaran saja, okey! Aku mencoba meyakinkan diriku.

Setelah mereka membawanya, aku segera mengobati luka Aldi. Syukurlah lukanya tidak parah, hanya tergores sedikit. Aku mengoleskan Betadine ke lukanya.

Harusnya tadi aku tidak perlu panik dan linglung seperti orang bodoh! rutukku dalam hati.

"Maaf, kau pasti tadi kaget." ujar Aldi.

"Ah tidak apa-apa, justru aku yang minta maaf tadi tidak siaga dan malah diam seperti orang bodoh saat kau terluka."

Ia tertawa, "Baiklah kita saling minta maaf dan memaafkan. Semoga saja kejadian ini tidak terulang ya."

Aku tersenyum, dan kembali mengoleskan betadine lalu menutupnya dengan kain kasa hingga.

"Terimakasih ya. Semoga saja besok lukanya sembuh."

Aku kembali menatap anggota klub basket yang masih fokus berlatih. Mereka terlihat sangat serius dan bersungguh-sungguh, sejenak aku merasa kagum.

Mataku bertabrakan dengan manik hitam Rei yang menatapku tajam. Aku segera menunduk, terlalu malu sekaligus takut untuk melihatnya. Apalagi aku banyak melakukan tindakan bodoh tadi.

Sepertinya aku memang tidak cocok menjadi manajer basket. Seharusnya aku tidak perlu memaksakan diri sampai seperti ini. Aku harap kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Setelah selesai berlatih, aku harus minta maaf kepada mereka semua. Harus!

🌙🌙🌙

Wah ternyata jadi manajer lebih susah dari yang Fhea kira ya, semoga saja dia bisa melewatinya. Fighting!!

Terimakasih buat kalian yang masih meluangkan waktu kalian untuk membaca Chapter ini ^^

Tunggu terus kisah petualangan Fhea selanjutnya yaa!

See you in next chapt!

- 🌙✨

Moonlight StealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang