19 | Bullying (2)

31 13 7
                                    

Sesuai janjiku dengan teman Dhiya, kami bertemu di taman belakang saat jam pulang sekolah. Tempat itu sepi sepanjang saat, cocok sekali untuk bertukar informasi rahasia antara siswi dengan siswi lain—persis seperti sekarang. Dhiya ikut menemaniku.

Gadis itu, namanya Faras berdiri sambil bersender di salah satu batang pohon. Tak berlama-lama, langsung saja aku memperkenalkan diri dan bertanya, "Sesuai yang tadi Dhiya bilang sebelumnya, aku mau ketemu buat nanya dimana kamu dapat foto itu?"

"Ah foto itu. Kau tahu Ivel? Dia yang memposting fotonya di akun stargram." kata Faras. "Apa berita itu beneran?"

Aku menggeleng dan mendesah pelan. Astaga bagaimana aku memulihkan nama baikku yang tercemar akibat perilaku orang lain yang TIDAK bertanggung jawab!

"Apa aku bisa bertemu dengannya?"

Farras melirik ke Dhiya dan menatapku tidak nyaman, "Kau yakin? Dia anaknya agak nakal. Beberapa murid di kelasku juga segan padanya." 

"Namun jika aku tidak mencoba berbicara padanya masalah ini tidak akan kelar. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya agar rumor ini cepat berhenti."

Dhiya dan Farras saling bertatapan dan ikut mendesah. "Maafkan aku ya Fhea tidak bisa membantu banyak." ujar Faras.

"Iya tidak apa-apa, kau sudah cukup membantuku kok. Kalau boleh tahu bagaimana caranya aku bisa bertemu dengannya?"

"Dia biasanya suka nongkrong di kantin/ di lapangan saat istirahat. Mungkin kau dapat bertemu dengannya di situ." 

Aku mengangguk, "Terimakasih ya Faras!"

"Iya Fhea, semoga berhasil! Kalau begitu aku pamit pulang duluan yaa!" Dhiya pun berjalan pergi dan hilang dibalik lorong sekolah.

"Yuk kita juga pulang!" Dhiya segera menggandeng tanganku. Kami berjalan beriringan sampai depan gerbang hingga harus berpisah di sana karena supir Dhiya sudah datang.

"Baiklah, ayu kita pulang sekarang juga Grey!" seruku sambil menatap salah satu dahan pohon dimana Grey berada.

"Mau ke mana?" Rei muncul di belakangku.

"Astaga!" Aku melompat kaget dan segera menjauh sambil melirik ke segala arah—kalau-kalau ada yang melihat dan menyebar rumor tidak jelas lagi.

"Tidak ada yang melihat. Ga perlu takut dan kaget seperti itu."

Aku cemberut, dan berjalan mendekat setelah memastikan tidak ada oramg di dekat sini. "Ada apa? Apa kau mau mau mendiskusikan tentang rumor itu?"

Ia mengerutkan alisnya, "Untuk apa?"

"Kau tahu kan kita ditimpa rumor aneh tidak jelas dan seisi sekolah heboh membicarakannya."

Rei mengangguk, "Namun bukan itu tujuanku sekarang. Sepertinya kau lupa."

Kini aku yang mengerutkan alis. "Apa yang kulupakan?"

"Di hari Minggu kau berjanji akan ke kafe bersamaku karena ingin melihat-lihat klub menggambar."

"ASTAGAA ... AKU LUPAA!" 

Ia menghela napas, "Ya sudah ayo. Pasti mereka udah nungguin."

Aku mengangguk dan segera mengikuti langkahnya di belakang. "Maaf yah aku lupa."

"Iya tidak apa-apa tapi … haruskah kau jaga jarak sejauh itu?" Rei melirik tajam.

"Hei aku hanya berjaga-jaga! Kita harus waspada terhadap segala kemungkinan, dan jangan menatapku seperti itu!"

Rei berdecak kesal dan melanjutkannya langkahnya. Aku terus mengikutinya sambil menjaga jarak hingga akhirnya sampai di kafe kecil bernuansa coklat, persis seperti nama kafenya, Kafe Cacao. Letaknya cukup jauh dari jalan raya jadi tidak begitu ramai

Moonlight StealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang